Riwayat Syarif Hidayatullah Mulai dari Berbicara dengan Kendi Hingga Berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW

Riwayat Perjalanan Syarif Hidayatulloh Sang Wali Kutub Berjumpa Nabi Muhammad SAW

Riwayat Kendi Berbicara Kepada Sarif Hidayatullah

Jawa Tengah, tribuntipikor.com

24 November 2021. Syarif Hidayatullah cucu prabu siliwangi jayadewata Pasundan Jawa barat adalah putera dari Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alim yang bergelar Sultan Mahmud (Sultan Hud) dan merupakan penguasa Mesir yang menikah dengan Nyi Mas Rara Santang puteri dari Jayadewata,

Terbawa oleh cengkeraman halilintar, naik membumbung ke angkasa, memasuki kegelapan awan, terlempar jauh keluar dari batas dunia sampai akhirnya terdampar di gunung kendeng,tepatnya di Padepokan Selo Kedaton dia berjumpa dengan seorang yang tengah bertapa dengan khusuknya, cahayanya memancar bagaikan zamrud.

Pemuda syarif melihat disampingnya terletak sebuah kendi tanah, maka kemudian dia pun menyapa sang pertapa dengan ramah,

“kakek yang tengah bertapa, kendi apakah gerangan yang ada di samping kakek itu?

” sang Pertapa menjawab, “Aku sudah tidak tahu lagi, sejak aku datang kendi itu sudah ada di sini, aku tak pernah menyentuhnya.

” Kemudian pemuda Syarif berkata lagi, “ kakek pertapa, coba tolong tanyakan darimana asal mulanya, agar supaya jangan sia-sia kakek berada di sampingnya.

” Pertapa itu lalu menjawab,”anakku dimana ada kendi bisa diajak bicara.”

Lalu pemuda Syarif mendekati kendi itu dan kendi itu lalu ditanya,

“kendi apakah gerangan ini, dan darimana asalmu.”
Kendi tanah itu tiba-tiba menjawab,
“hamba ini paduka tuan, adalah kendi dari Surga, berada disini disediakan bagi tuan. Bukankah tuan sudah empat puluh hari tidak makan, tidak tidur, dan juga tidak minum.
Tuan diizinkan untuk meminum airnya, tersisa sepertiganya.

Kemudian Kendi Tanah berkata lagi, “bilamana tuan habiskan minuman isiku, anak cucu tuan akan menjadi raja hingga hari kiamat nanti.”

Pemuda Syarif mengikuti apa yang dikatakan Kendi tanah itu, lalu cepat airnya diminum habis. Kendi itu berkata,

“kelak anak cucumu akan dinobatkan menjadi Raja, akan tetapi pemerintahannya akan terputus karena tadi Tuan tidak meminum habis air itu.” Setelah selesai berbicara demikian Kendi Tanah itupun hilang lenyap, Sang Pertapa terkejut melihatnya dan berkata, “selama hidupku belum pernah menyaksikan hal seperti itu.”

Pemuda Syarif kemudian mohon diri kepada pertapa itu dan melanjutkan perjalanannya mencari Nabi Muhammad SAW. Sudah seratus hari lamanya dia mencari tanpa makan dan minum, akan tetapi belum juga menemukan yang dicari. Di tengah perjalanan pemuda Syarif melihat keadaan di Alam Nyawa,
tempat dimana nyawa dari orang-orang yang mati dalam perang Sabil berada.

Tempat yang mulia bagaikan Surga dimana penghuninya bersuka ria, menunggang kuda dan berbusana indah dari Surga Agung.
Walaupun badan mereka masih luka-luka dengan darah yang masih mengalir, akan tetapi mereka sangat harum baunya. Dari wajah mereka tidak terlihat rasa pedih ataupun kesakitan, bahkan mereka gembira dan bersuka ria.
Pemuda Syarif gundah hatinya melihat mereka yang luka-luka itu.

Tidak lama kemudian ada yang datang,
seorang yang tubuhnya bercahaya dan baunya harum semerbak,
dia datang menunggang kuda terbang yang bernama Kuda Sembrani, datang menjumpai Syarif Hidayatullah

“Barangkali engkau belum tahu, inilah tempatnya nyawa orang-orang yang mati dalam perang Sabil, mereka meninggal dalam membela agama Islam.

Itulah karunia dari Yang Maha Esa kepada mereka, diberikan karunia di Surga indah. Kuberitahukan juga kepadamu bahwa keinginanmu untuk berjumpa dengan Rasulullah akan terpenuhi.

Sungguh Allah Yang Maha Agung bersifat pemurah dan terimalah buah ini, sebagai tanda cinta dari Surga yang indah. Buah ini dipetik dari Surga yang mulia, sejak jamannya Nabi Nuh sampai sekarang belum busuk.

Allah memberikannya kepadamu sebagai tanda anugrah-Nya dan dengan kehendak Allah pangkat derajatmu diangkat menjadi Wali Allah Quthub. Kalau saja belum tertutup ke-Nabian maka pangkat Nabi-lah yang akan kau peroleh. Akan tetapi sekarang sudah tutup ke Nabi-an yang diberikan terakhir kepada Muhammad Nurbuat.”

Syarif Hidayat menerima pemberian buah hijau itu, lalu segera dimakannya.
Dia merasakan seribu rasa yang merupakan kenikmatan tiada tarayang telah diberikan oleh Yang Maha Agung.

Kemudian pemuda Syarif berkata kepada Nabi, “Siapakah gerangan paduka tuan ini, jin ataukah Malaikat.”Nabi itu menjawab, “Aku adalah Nabi Khidir, dengan belas kasihan Yang Maha Suci, yang telah memanjangkan umurku dan dengan kehendak Hyang Maha Manon aku menyampaikan wahyu kepada manusia yang mulia, yang bersih hatinya.

Karena Malaikat Jibril itu diutus menyampaikan wahyu tidak kepada manusia biasa, akan tetapi hanya kepada para Nabi.
Karena itu engkau menerimanya dariku dan hukumnya engkau ini adalah Wali Allah yang mulia.
Pintu ke-Walian masih terbuka untuk seseorang setelah engkau, yaitu kelak diakhir zaman, akan ditutup oleh seorang Wali yang bernama Imam Mahdi.

Kelak jika telah aku sampaikan wahyu kepadanya, setelah itu maka kemudian ajalku akan diambil Laknatullah. Baiklah sekarang engkau akan kutinggal.”

Kemudian Nabi Khidir cepat menaiki kudanya, dan bersiap hendak mencambuk kudanya untuk meninggalkan pemuda Syarif.

Akan tetapi tanpa bisa dicegah pemuda Syarif melompat dibelakangnya dan minta untuk diajak pergi.
Kuda Sembrani itu lalu terbang cepat bagaikan kilat, tenggelam dalam ketidaktahuan arah, utara-barat-timur ataupun selatan,
alam menjadi gelap gulita hingga akhirnya memasuki sebuah tempat yang terang benderang.
Mereka tiba di Gunung Mirah Wulung, darimana terlihat Surga Agung.

Setelah pemuda Syarif turun dari Kuda Sembrani itu, Nabi Khidir berkata,

“Engkau tunggulah disini dengan sabar, nanti akan ada yang datang kepadamu, nanti akan kau lihat sendiri.

” Setelah berkata demikian lalu Nabi Khidir menghilang tak terlihat lagi. begitu pemuda Syarif ditinggal termangu mangu seorang diri menunggu kedatangannya seorang yang agung. Tak terdengar kedatangannya,
seekor burung putih keluar dari puncak gunung mendatangi pemuda Syarif dan kemudian membawanya naik ke puncak gunung itu.

Pemuda Syarif dibawa ke Mesjid Kumala.
Tanpa diketahui kedatangannya kemudian terlihat Rasulullah,
cahanya menyilaukan memancar menerangi alam sekitarnya.

Syarif Hidayat lalu menghambur untuk bersujud di hadapan Nabi, akan tetapi bahunya segera diangkat oleh Rasul dan sabdanya, “Nanti kamu kafir kalau kamu menyembah sesame manusia, sebab sejak awalnya sujud itu hanya kepada Allah.”

Pemuda Syarif kemudian berkata, “Hamba mohon syafaat, baiyat kepada sejatinya, semoga selamat dunia sampai akhirat.
” Rasul berkata :

“He wong anom, iku sira pinangka dadi gegentine raganing wong.
Den eling sira mangko, ing sasamining agesang. Urip iku ora beda, ora kena ya ing lampus sukmanira anom iku Allah.
Aja sengge dingin kari, anging tunggal tan kalinya, iku sira ing anane.
Ciptanen roro ning tunggal. Nanging dhohir kudu nganggoa ing warana iku besuk, ngramehaken ingkang praja.
Nuduhaken kaula gusti, poma-poma den sangkriba iku ing wicarane.
Nyampurnaken ing amal, syareat ingkang utama, ngabekti ing bapa ibu, ngunjunga ing Ka’batullah. Ulatana guru kang mursyid, aja ngilangaken adat dunya.”

yang artinya
(Hai anak muda, yang akan menjadi pengganti diriku.
Ingatlah kamu selalu kepada sesama hidup. Karena hidup itu tidak berbeda, tidak bisa dibunuh karena sukmanya itu Allah.
Jangan sampai nanti terlambat, hanya ada satu tak ada duanya, yaitu itulah engkau adanya.

Namun lahir harus memakai tirai, untuk meramaikan negara.
Berikan petunjuk kepada hamba Allah, berhati-hatilah dalam tutur kata. Sempurnakan amal syareat yang utama, dengan berbakti kepada ayah bunda, dan kunjungilah Ka’bah Allah.
Carilah guru yang saleh dan janganlah meninggalkan adat dunia, hanya itulah nasihatku ).

Maka selesai sudah baiyatnya Rasulullah. Syarif Hidayat pun bersyukur karena tercapai sudah keinginannya yang satu, yaitu berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW.

(Red)
(Sumber:habib Umar bin Ahmad bin abdurohman/ Vio Sari )

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *