Jakarta, Tribun Tipikor
Triple-Minority Jokowi, Triple-Majority Prabowo
Jokowi, sejak awal kepemimpinannya, berada dalam posisi yang lebih terbatas dibandingkan Prabowo dalam tiga aspek utama. Pertama, Jokowi bukan ketua umum partai politik (parpol) dan hanya diposisikan sebagai “petugas partai” oleh PDI-P. Ini kontras dengan Prabowo yang memiliki kendali penuh sebagai Ketua Umum Partai Gerindra.
Kedua, ketika pertama kali menjabat sebagai presiden, Jokowi belum memiliki jaringan politik yang luas. Berbeda dengan Prabowo yang telah lama berkecimpung dalam dunia politik nasional maupun internasional, memberikan keuntungan lebih dalam pergaulan dan diplomasi politik.
Ketiga, dukungan parlemen terhadap Jokowi di awal kepemimpinannya relatif lemah. Hal ini berbeda dengan Prabowo yang mendapat sokongan kuat dari Koalisi Indonesia Maju, sementara PDI-P justru memilih jalan sendiri setelah pemilu 2024.
Dengan kombinasi ketiga faktor ini, Jokowi berada dalam posisi “triple-minority”, sementara Prabowo kini menikmati status “triple-majority”, dengan kendali lebih besar di pemerintahan, parlemen, serta jejaring politik nasional dan global.
Koalisi Besar dan Stabilitas Politik
Dinamika politik saat ini memperlihatkan adanya satu arsitek besar di balik solidnya koalisi yang mendukung Prabowo-Gibran. Koalisi besar ini bukan sekadar strategi politik, tetapi merupakan prasyarat utama (conditio sine qua non) dalam menjaga stabilitas politik sebagai fondasi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Jokowi membuktikan bahwa periode kedua kepemimpinannya lebih stabil karena dukungan parlemen yang kuat. Skema ini kini diteruskan oleh Prabowo-Gibran, dengan wacana kesinambungan politik yang diproyeksikan hingga 2045. Dalam skenario ini, Prabowo akan memimpin selama 10 tahun, disusul oleh Gibran Rakabuming Raka untuk periode berikutnya.
Masa depan politik pasca 2045 masih terbuka untuk dibicarakan lebih lanjut, namun selama kepemimpinan Prabowo-Gibran, agenda besar akan difokuskan pada keberlanjutan pembangunan dan penguatan stabilitas politik.
Dwi-Tunggal Jokowi-Prabowo dan Tantangan Ekonomi Energi
Dalam konteks pembangunan nasional, Jokowi dan Prabowo dapat dikatakan sebagai “dwi-tunggal” yang saling melengkapi. Dengan proyeksi jumlah penduduk Indonesia mencapai 324 juta jiwa pada 2045—di mana 70% di antaranya adalah usia produktif—pemerintah harus menyiapkan infrastruktur yang memadai, termasuk di sektor kesehatan dan gizi.
Namun, ini membutuhkan dana besar. Oleh karena itu, efisiensi anggaran dan pemberantasan korupsi menjadi dua hal yang tidak bisa ditawar. Salah satu langkah besar dalam efisiensi ekonomi adalah pengelolaan energi nasional, terutama dalam hal cadangan minyak dan gas bumi.
Berdasarkan data SKK Migas Februari 2024, cadangan minyak Indonesia hanya sekitar 4,7 miliar barel atau sekitar 0,2% dari total cadangan minyak dunia. Dengan asumsi tingkat recovery 40-50%, cadangan ini diprediksi akan habis dalam 12-18 tahun ke depan. Saat ini, kebutuhan minyak Indonesia mencapai 1,6 juta barel per hari, sedangkan lifting minyak nasional hanya 600 ribu barel per hari. Defisit ini memaksa Indonesia mengimpor minyak dalam jumlah besar.
Di tengah tantangan ini, Pertamina memiliki peran krusial. Namun, skandal besar di tubuh perusahaan pelat merah ini justru menyoroti besarnya kebocoran anggaran akibat korupsi.
Skandal Pertamina dan Perhitungan Bocornya Uang Negara
Dalam skandal terbaru yang diungkap oleh Kejaksaan Agung, diperkirakan ada kebocoran anggaran hingga 193,7 triliun rupiah yang terdiri dari:
Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri: 35 triliun rupiah
Kerugian impor minyak mentah melalui broker: 2,7 triliun rupiah
Kerugian impor BBM melalui broker: 9 triliun rupiah
Kerugian pemberian kompensasi: 126 triliun rupiah
Kerugian pemberian subsidi: 21 triliun rupiah
Total kerugian yang ditaksir mencapai 193,7 triliun rupiah ini baru berasal dari periode 2018 hingga 2023. Jika dikalkulasikan selama lima tahun, angka ini bisa mendekati 1 kuadriliun rupiah (seribu triliun rupiah). Angka yang mengejutkan dan menjadi tamparan keras bagi upaya reformasi di sektor energi.
Kejaksaan Agung telah menetapkan beberapa tersangka dari kalangan eksekutif muda Pertamina, tetapi pertanyaan besar tetap menggantung: siapa aktor utama di balik skandal ini? Siapa “bangsawan tikus” yang sebenarnya menikmati keuntungan dari korupsi ini?
Dari BBM ke Kendaraan Listrik: Transisi yang Tak Terelakkan
Di tengah semakin menipisnya cadangan minyak dan tingginya potensi kebocoran anggaran akibat korupsi, transisi energi menjadi solusi yang harus segera diakselerasi.
Dengan proyeksi cadangan minyak yang hanya bertahan 18 tahun lagi, masyarakat Indonesia perlu mulai mempertimbangkan peralihan ke kendaraan listrik sebagai alternatif yang lebih berkelanjutan. Langkah ini tidak hanya akan mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM tetapi juga sejalan dengan tren global menuju energi bersih.
Namun, transisi ini membutuhkan komitmen besar dari pemerintah dalam menyediakan infrastruktur pendukung, termasuk peningkatan kapasitas pembangkit listrik berbasis energi terbarukan serta penguatan industri baterai dalam negeri.
Kesimpulan: Menatap 2045 dengan Keberlanjutan Politik dan Ekonomi
Keberlanjutan politik yang sedang dirancang oleh koalisi besar Prabowo-Gibran bukan sekadar wacana, tetapi strategi nyata untuk menjaga stabilitas pemerintahan hingga 2045. Dengan dwi-tunggal Jokowi-Prabowo yang saling melengkapi, proyek pembangunan berkelanjutan dapat terus berjalan.
Namun, tantangan besar tetap ada, terutama dalam hal korupsi dan transisi energi. Skandal Pertamina menjadi pengingat bahwa reformasi struktural masih menjadi agenda mendesak.
Di sisi lain, masa depan energi nasional tidak bisa lagi bergantung pada minyak bumi yang semakin menipis. Transformasi ke energi terbarukan dan kendaraan listrik adalah keniscayaan yang harus mulai diwujudkan sejak sekarang.
Pertanyaannya, apakah kita siap menghadapi perubahan besar ini? Ataukah kita akan terus terjebak dalam skandal dan pemborosan anggaran yang menghambat masa depan Indonesia?
(Jakarta, 5 Maret 2025 – Andre Vincent Wenas, MM, MBA, Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.)