Banda Aceh, Tribuntipikor com
LBH Banda Aceh akan menjalani proses praperadilan terhadap dua kasus, yaitu kasus penangkapan David Yuliansyah oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Aceh, dan kasus penetapan tersangka terhadap enam mahasiswa demonstran oleh Polresta Banda Aceh. Sidang praperadilan dua kasus itu digelar di Pengadilan Negeri Banda Aceh mulai 10 Februari 2025, dan diperkirakan paling lama tujuh hari berturut-turut.
LBH Banda Aceh menjelaskan David Yuliansyah (korban) dan tiga orang lainnya ditangkap petugas BNNP (Badan Narkotika Nasional Provinsi) Aceh pada 7 Desember 2022, dini hari, atas dugaan tindak pidana narkotika. Informasi penangkapan ini diketahui pihak keluarga, abang kandung David, pada pagi hari.
Atas permintaan petugas BNNP Aceh, pihak keluarga diminta untuk membawa kartu BPJS David. Belakangan diketahui bahwa pada malam itu David dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara Banda Aceh untuk mendapat pertolongan medis. David diduga telah dalam keadaan kritis.
“Pada 9 Desember 2022, pihak keluarga mendatangi kantor BNNP Aceh untuk menjenguk serta memastikan keberadaan David. Saat ditemui, David dikurung dalam sebuah ruangan yang berlantai kerikil dan tanpa atap. David dalam keadaan sangat lemah, terdapat luka lebam kebiruan di sekujur tubuhnya. Selain itu, tingkat kesadarannya menurun sehingga ia tidak dapat mengenali lagi keluarganya,” kata Direktur LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa, dalam siaran pers, Ahad, 9 Februari 2025.
Kemudian David dilarikan ke Rehabilitasi NAPZA Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Banda Aceh menggunakan mobil ambulans BNNP Aceh untuk mendapat pertolongan medis lanjutan. Saat itu, kata Aulianda, David tidak dibawa ke IGD Rumah Sakit. “Karena menurut petugas BNNP, David bukan dalam keadaan kritis yang mengancam nyawa, namun keadaannya tersebut disebabkan oleh efek narkotika yang dikonsumsinya”.
Pada 10 Desember 2022, pihak RSJ Banda Aceh menghubungi keluarga David dan mengabarkan bahwa David telah meninggal dunia. “Salah seorang dokter yang memeriksa jenazah David menyampaikan ke pihak keluarga bahwa dada/tulang rusuk David sudah dalam keadaan tidak simetris. Salah seorang petugas RSJ lainnya juga menyampaikan bahwa kondisi David tidak seperti orang yang sedang sakau sebagaimana pasien NAPZA lain pada umumnya, namun lebih terlihat seperti orang yang mengalami gegar otak,” ungkap Aulianda.
Pihak keluarga menganggap kematian David adalah tidak wajar dan penuh kejanggalan, sehingga melaporkan peristiwa tersebut ke Polda Aceh. Kematian David, kata Aulianda, diduga akibat penyiksaan yang dialaminya selama dalam tahanan BNNP Aceh.
David dimakamkan di pemakaman umum desa tempat tinggalnya. Dia meninggalkan seorang istri dan dua anak usia 8 dan 5 tahun. “Setelah kematian David, tiga orang yang ditangkap bersamaan dengannya dilepaskan oleh BNNP Aceh dengan alasan tidak cukup bukti”.
Keluarga David meminta bantuan pendampingan hukum kepada LBH Banda Aceh sesuai dengan surat kuasa istri David dengan pengacara publik LBH Banda Aceh. LBH Banda Aceh mengajukan permohonan ekshumasi dan autopsi kepada Polda Aceh. Menyikapi permohonan tersebut, kata Aulianda, Polda Aceh melalui Wassidik sempat mempertanyakan keyakinan istri David tentang keinginan ekshumasi dan autopsi terhadap jenazah David. “Pendapatnya adalah proses tersebut dapat mengganggu ketenangan arwah David”.
Kami menilai tindakan ini merupakan upaya untuk membatalkan permohonan ekshumasi dan autopsi, atau setidak-tidaknya untuk menunda pelaksanaannya. Namun, pihak keluarga dan LBH Banda Aceh tetap mengajukan permohonan ekshumasi dan autopsy,” ujar Aulianda.
Pada 4 Januari 2023, Polda Aceh melakukan ekshumasi dan autopsi terhadap jenazah David. Proses ini baru dilakukan setelah 19 hari sejak permohonan pada 16 Desember 2022. “Hal ini menunjukkan lambatnya kerja penyidik dalam melakukan pengungkapan kasus,” ucap Aulianda.
Setelah ekshumasi, pada 22 Februari 2023, penyidik Polda Aceh menyatakan kematian David disebabkan oleh penyakit lambung. Sedangkan luka lebam kebiruan pada tubuhnya diakibatkan karena yang bersangkutan dengan sengaja membenturkan diri ke dinding dan menjatuhkan dirinya dalam kamar mandi. Pihak keluarga dan LBH Banda Aceh tidak percaya atas informasi yang disampaikan tersebut karena sulit diterima oleh akal sehat.
“Maka kami meminta untuk diperlihatkan secara langsung surat hasil visum dan autopsi. Namun penyidik tidak bersedia memperlihatkannya dengan alasan bahwa surat hasil visum dan autopsi merupakan dokumen rahasia,” tutur Aulianda.
Polda Aceh melakukan penghentian penyelidikan atas kasus ini pada 7 Maret 2023 dengan alasan tidak cukup bukti. “Polda Aceh tidak memiliki itikad baik untuk mengungkap kasus ini mengingat terduga pelakunya merupakan anggota kepolisian yang bertugas di BNNP Aceh”.
“Kami keberatan terhadap penghentian ini. Menurut kami, bukti-bukti yang tersedia sebenarnya sudah cukup untuk meningkatkan status pemeriksaan dari penyelidikan ke penyidikan,” tegas Aulianda.
Penetapan Tersangka Mahasiswa
LBH Banda Aceh menilai Polresta Banda Aceh melanggar proses hukum terhadap penangkapan dan penetapan tersangka mahasiswa demonstran menggunakan Pasal 165 dan/atau Pasal 167 KUHP.
Mulanya, sekitar 40 mahasiswa melakukan demonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terkait demokrasi, konflik agraria, buruh, Revisi UU Polri dan UU TNI pada Kamis, 29 Agustus 2024. Demonstrasi berlangsung selama 40 menit karena polisi langsung membubarkan demonstrasi dan menangkap 16 mahasiswa, lalu mereka dibawa ke Mapolresta Banda Aceh.
“Selama penangkapan dan pemeriksaan di Mapolresta Banda Aceh, 16 mahasiswa tersebut mengalami intimidasi, kekerasan, penyitaan barang, serta tidak diperkenankan untuk didampingi kuasa hukum,” ungkap Aulianda.
Menurut Aulianda, empat mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka termasuk dari 16 orang yang ditangkap. Sementara dua orang lainnya tidak termasuk dari 16 orang yang ditangkap itu.
Upaya Praperadilan
Dari dua kasus di atas, LBH Banda Aceh telah mendaftarkan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Banda Aceh pada 31 Januari 2025. Pada kasus David Yuliansyah terdaftar dengan perkara Nomor: 1/Pid.Pra/2025/PN Bna dan kasus penangkapan mahasiswa terdaftar dengan perkara Nomor: 2/Pid.Pra/2025/PN Bna.
Pada kasus David Yuliansyah, permohonan praperadilan terhadap BNNP Aceh dilakukan untuk membuktikan bahwa penangkapan pada 7 Desember 2022 yang berujung pada kematian David Yuliansyah tidak sah secara hukum karena tanpa disertai bukti yang cukup. “Hal ini dibuktikan
juga dengan dibebaskannya tiga orang yang ditangkap bersamaan dengan David dengan alasan tidak cukup bukti,” ujar Aulianda.
Pada kasus penangkapan mahasiswa demonstrasi, LBH Banda Aceh memandang bahwa penangkapan dan penetapan tersangka menggunakan Pasal 156 dan/atau Pasal 157 KUHP sangat tidak tepat. Sebab, perbuatan yang dilakukan mahasiswa tersebut tidak termasuk dalam unsur dari Pasal 156 dan/atau 157 KUHP.
Pengawalan Bersama
Proses praperadilan terhadap dua kasus ini akan dikawal secara bersama oleh berbagai organisasi, yaitu ACSTF, AJI Banda Aceh, Katahati Institute, Koalisi NGO HAM, KontraS Aceh, LBH Banda Aceh, dan MaTA.
“Kami juga mengajak masyarakat luas untuk bersama-sama mengawal proses praperadilan ini. Proses praperadilan ini diharapkan dapat menjadi harapan baru bagi korban yang mencari keadilan, serta mendorong reformasi institusi kepolisian,” ucap Aulianda Wafisa. (Muhammad)