LAMONGAN JATIM, tribuntipikor.com
Program pemerintah Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), sangat bermanfaat bagi masyarakat, untuk memperoleh kepastian dan perlindungan hukum, dan memberikan rasa aman serta jaminan kepastian hukum atas tanah.
Program tersebut juga diatur dalam surat keputusan bersama menteri Agraria dan tata ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (SKB 3 Menteri).
Dalam aturan tersebut untuk biaya kepengurusan yakni hanya Rp.150 ribu per bidang dan berlaku di daerah Jawa dan Bali.
Namun, kali ini berbeda dengan apa yang dicanangkan oleh pemerintah pusat. Seperti di daerah kecamatan Modo, kabupaten Lamongan, Jawa Timur, yang mana pada tahun 2022 mendapat program PTSL sebanyak 12 desa, seperti Desa Kedungwaras, Sambungrejo, Sidodowo, Jatipayak dan lain sebagainya, serta terdiri dari puluhan ribu kuota/pemohon.
Berlanjut ditahun 2023 kecamatan Modo mendapatkan lagi sebanyak 6 Desa, tuntas sudah seluruh desa sudah mendapatkan kuota program PTSL.
Namun anehnya, dari puluhan ribu pemohon, diduga keras adanya praktek pungli dimana masing-masing pemohon dikenakan biaya sangat fantastis yakni Rp.700 ribu rupiah. Tentunya dari nilai tersebut sangat bertentangan dengan aturan SKB tiga menteri.
Sebelumnya juga viral berbagai media telah memberitakan terkait dugaan pungli PTSL kecamatan Modo,
Lebih ironis lagi praktik pungli sebanyak puluhan Milyar tersebut, nampaknya tidak pernah tersentuh aparat penegak hukum baik dari kepolisian maupun Kejaksaan Negeri Lamongan.
Menurut informasi warga setempat, Muncul dugaan bahwa dana Rp.700 ribu rupiah dari per pemohon PTSL tersebut, ternyata sudah ada pembagian sejenis upeti untuk diberikan kepada setiap pemangku jabatan yang punya kewenangan.
“Diantaranya untuk Humas yang diduga tenaga kecamatan sebanyak Rp.200.000,- termasuk Camat, untuk aparat Hukum RP.100.000,- untuk kepala desa Rp.100.000,- Muspika Rp.50.000,- dan konon sisanya digunakan untuk kepentingan Pokmas,” ujar sumber di lapangan.
Sementara Ahmad Kurniawan selaku Camat Modo saat dikonfirmasi Wartawan diruang kerjanya, mengenai besaran nilai tarif pemohon PTSL justru jawabannya ngelantur diluar pertanyaan Wartawan.
“Habis berapapun yang penting warga masyarakat Modo seneng, kalau tidak suka biarkan gak ikut PTSL, kalau saudara pingin memberitakan masalah ini, silakan tulis,” ujar Camat Ahmad Kurniawan dengan nada sedikit kesal.
Bahkan Ahmad Kurniawan mengatakan jika wartawan Lamongan banyak yang tidak terkoordinasi, tidak masuk dewan Pers.
Terkait hal ini, tentunya seorang pejabat publik setingkat Camat, tidak pantas menyampaikan seperti itu kepada wartawan yang juga sebagai Sosial Control. Apalagi tanpa dasar. “Kebodohanlah, bila pejabat publik tidak faham aturan perubahan Dewan Pers saat ini.
Tampaknya, arogansi Camat Modo bak tidak pernah tersentuh disiplin dan/atau sangsi Pemerintah Daerah sebagai ASN, yang tentunya secara tidak langsung mencoreng kewibawaan Pemda Lamongan dalam gencar gencarnya membangun.
Disisi lain, Diyah Ambarwati Kepala Kejaksaan Negeri Lamongan saat dimintai tanggapan terkait pemberitaan PTSL di Kecamatan Modo, siap untuk memproses secara hukum, jika nanti ada laporan masuk.
Olehnya, wartawan dan/atau jurnalis sebatas Sosial Control, tidak mempunyai wilayah dalam segi hukum.
Pun demikian bila mana pihak terkait (APH) tidak merespon pemberitaan media, tak jadi soal, yang terpenting kami memberitakan sesuai kode etik jurnalistik. (Spn/King)
Editorial: Solikin.gy