Kota Bandung, tribuntipikor.com
Ketua Fraksi Gerindra DPRD Jawa Barat, H Ricky Kurniawan mengkritik kebijakan pemerintah pemcabut HET minyak goreng.
BANDUNG-TRIBUN TIFIKOR. Stok minyak goreng kembali tersedia di pasaran. Ini setelah pemerintah mencabut aturan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan.
Sudah Disubsidi, Harga Minyak Goreng Curah Masih Mahal
Kondisi tersebut mendapat kritikan dari Ketua Fraksi Gerindra Persatuan DPRD Jawa Barat, Ricky Kurniawan. Menuruntya, pencabutan HET minyak goreng sebagi bentuk kekalahan pemerintah dari pengusaha.
“Kami sejalan dengan Fraksi Gerindra DPR RI yang menganggap kebijakan pemerintah ini menunjukkan pemerintah kalah dari pengusaha kelapa sawit, kalah dari oligarki,” kata Ricky Kurniawan.
Sejatinya pemerintah bisa mengontrol Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) untuk masyarakat. Makanya dengan pencabutan HET minyak goreng menjadi bukti kekalahan pemerintah dari pengusaha.
“Seharusnya pemerintah bisa mengontrol DMO, DPO untuk masyarakat dengan mencabut ini pemerintah kalah,” tegas wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) Kabupaten Bogor ini.
Dirinya mendesak pemerintah pusat bersikap tegas terkait pengaturan harga minyak goreng. Selain itu, Ricky Kurniawa menyinggung Permendag Nomor 6 Tahun 2022 yang mengatur harga minyak goreng hanya menjadi kebijakan macan kertas.
“Kita lagi nunggu jawaban menteri kira-kira jaminan pemerintah kapan HET Rp 14.000 itu bisa ada dipasaran, kapan tanggal pastinya, ini lagi kita tunggu, jangan sampai kebijakan ini jadi macan kertas lagi,’’ tegasnya.
Selain itu, dia juga meminta pemerintah waspada terkait oknum yang curang dengan merepacking minyak curah menjadi menyak kemasan.
Fraksi Gerindra Persatuan DPRD Jabar juga mendesak Kementerian Perdagangan untuk menerbitkan aturan pelarangan ekspor minytak goreng ke luar negeri.
Kebijakan tersebut sebagai upaya mengatasi kelangkaan serta kenaikan harga minyak goreng di pasaran yang mencapai Rp 24 ribu per liter setelah pemerintah mencabut aturan harga eceran tertinggi (HET).
Terlebih Indonesia sebagai produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia harus mengutamakan ketersediaan pasokan minyak sawit dalam negeri (domestic market obligation).
Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
“Indonesia adalah produsen bahan dasar minyak goreng (CPO) terbesar di dunia. Tapi mengapa minyak goreng di negara kita justru sangat mahal dan sempat langka. Artinya bahwa ada pihak-pihak yang bermain terkait persoalan minyak goreng ini, termasuk soal penetapan harga eceran minyak goreng di pasaran,” jelas Ricky.
Meski begitu, Ricky mempertanyakan pernyataan Mendag Lutfi terkait kenaikan harga minyak goreng disebabkan imbas dari adanya perang Rusia-Ukrania.
Menurut Ricky, argumentasi itu sangat tidak relevan. Dia mengatakan, kelangkaan serta kenaikan harga minyak goreng yang hampir mencapai 80 persen disebabkan ketidakcermatan pemerintah dalam memahami mekanisme pasar.
“Oleh sebab itu, untuk menekan harga minyak goreng di pasaran adalah dengan melarang sementara ekspor CPO keluar negeri. Negara harus berani bersikap dan menentukan mekanisme pasar terkait minyak goreng agar para pengusaha-pengusaha ini tidak lagi bermain mencari keuntungan di tengah kesulitan masyarakat,” paparnya.
Lebih jauh Ricky menjelaskan, kasus minyak goreng saat ini sama seperti krisis batu bara yang dihadapi Indonesia beberapa waktu lalu. Namun, krisis itu dapat segera diatasi oleh pemerintah dengan cara melarang ekspor batu bara, serta melakukan evaluasi terhadap perusahaan produsen batu bara untuk memprioritaskan
(Budi)