Kuningan|Tribun TIPIKOR.com
Upaya pemerintah memperluas akses keadilan hingga ke tingkat desa kembali menunjukkan hasil konkret. Melalui ajang Peacemaker Justice Award (PJA) 2025, para Kepala Desa dan Lurah dari seluruh Indonesia dinilai berdasarkan kiprahnya dalam penyelesaian sengketa nonlitigasi serta penguatan layanan bantuan hukum di wilayah masing-masing.
Salah satu yang berhasil menorehkan prestasi membanggakan adalah Kepala Desa Linggasana, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, Hj. Henny Rosdiana, S.H., S.Sos., M.Si. yang juga menjabat sebagai Ketua APDESI. Ia terpilih sebagai penerima penghargaan nasional tersebut setelah melalui serangkaian proses seleksi dan pendidikan yang cukup panjang.
Dalam wawancara yang dilakukan di kediamannya, Hj. Henny mengungkapkan bahwa perjuangan meraih PJA 2025 telah ia jalani sejak Februari 2025. Para peserta diwajibkan mengikuti kuliah daring bersama para akademisi, termasuk profesor dan doktor di bidang hukum, serta membentuk Pos Bantuan Hukum (Posbankum) sebagai bagian dari syarat penilaian.
“Prosesnya sangat panjang. Setelah kuliah online, kami masih harus menyelesaikan sejumlah ujian. Total ada 1.340 Kepala Desa dan Lurah yang ikut seleksi. Dari Jawa Barat hanya 80 orang yang lolos, dan mengerucut menjadi delapan peserta pada tahap akhir,” ungkapnya.
Tahap berikutnya ialah perkuliahan intensif setara 12 SKS selama tiga hari melalui Zoom, sebelum para peserta menjalani karantina lima hari di BPSDM. Dari seluruh peserta, hanya 130 orang yang dinyatakan memenuhi standar untuk mengikuti karantina tersebut dan Hj. Henny termasuk di dalamnya sebagai wakil Jawa Barat.
Pada puncaknya, hanya empat peserta dari seluruh Indonesia yang meraih penghargaan utama: masing-masing berasal dari Aceh, Sulawesi, Papua Barat, dan Kabupaten Kuningan melalui Hj. Henny Rosdiana.
“Ini bukan penghargaan pribadi semata. Ini adalah kebanggaan bagi warga Linggasana dan Kabupaten Kuningan. Saya ingin menunjukkan bahwa desa memiliki peran besar dalam memperkuat akses keadilan bagi masyarakat,” tuturnya.
Hj. Henny menjelaskan bahwa perannya sebagai pendamai bukan hal baru. Sejak tahun 2010, ia telah kerap memediasi berbagai persoalan warga mulai dari konflik sosial hingga masalah yang berpotensi masuk ranah pidana. Proses mediasi biasanya dilakukan bersama Babinsa, Bhabinkamtibmas, dan tokoh masyarakat, termasuk pengurus DKM.
“Prinsipnya, setiap masalah bisa diselesaikan melalui musyawarah. Mediasi desa sering kali menjadi solusi terbaik karena menjaga hubungan sosial warga tetap harmonis,” tegasnya.
Sebelumnya, Menteri Hukum RI Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa peningkatan kapasitas Kepala Desa dan Lurah sebagai Non Litigation Peacemaker (NLP) merupakan langkah strategis untuk memperluas akses keadilan berbasis komunitas. Menurutnya, PJA merupakan bentuk apresiasi atas komitmen aparatur desa dalam membangun Posbankum dan menyelesaikan sengketa secara mandiri.
Sementara itu, Ketua Mahkamah Agung Sunarto menilai keberadaan juru damai di tingkat akar rumput dapat membantu mengurangi beban perkara di pengadilan. Sepanjang 2024, tercatat jutaan perkara masuk ke tingkat pertama, sehingga peran mediasi nonlitigasi dianggap penting untuk menumbuhkan budaya hukum yang lebih mengutamakan dialog serta harmoni sosial.
Melalui penghargaan ini, pemerintah berharap penyelesaian sengketa nonlitigasi semakin menjadi pilihan utama masyarakat, sehingga tidak semua persoalan berakhir di meja hijau.
Mengakhiri pernyataannya, Hj. Henny berharap penghargaan ini menjadi pemicu untuk terus memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
“Semoga amanah ini membuat saya semakin profesional dan senantiasa menjaga keharmonisan warga Linggasana,” ujarnya
( andri hdw )





