Perjanjian LinggarjatiHistory Sejarah Dunia

Kuningan,Jawa Barat, Tribuntipikor Online _
Perjanjian Linggarjati adalah perjanjian penting yang lahir dari perundingan antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 11-13 November 1946 di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat, dan ditandatangani secara resmi pada 25 Maret 1947. Tujuannya adalah untuk menyelesaikan konflik antara kedua belah pihak secara diplomatik setelah perundingan sebelumnya gagal. Isi utamanya adalah pengakuan Belanda terhadap kekuasaan de facto Republik Indonesia di Jawa, Madura, dan Sumatra, meskipun pada akhirnya perjanjian ini dilanggar oleh Belanda yang memicu Agresi Militer I.
Latar belakang
Kegagalan perundingan sebelumnya: Perundingan Linggarjati merupakan kelanjutan dari perundingan sebelumnya, termasuk perundingan di Hoge Veluwe, Belanda, yang tidak membuahkan hasil.
Jalan diplomasi: Pemerintah Indonesia memilih jalur diplomasi melalui perundingan untuk menghindari korban jiwa lebih banyak jika melakukan perlawanan fisik secara terus-menerus.
Dukungan dan tentangan masyarakat: Hasil perjanjian ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat Indonesia, dengan beberapa partai politik mendukung dan lainnya menentangnya.
Isi perjanjian
Belanda mengakui secara de facto wilayah kekuasaan Republik Indonesia, yaitu Jawa, Madura, dan Sumatra.
Belanda dan Indonesia akan bekerja sama dalam membentuk negara federal Indonesia Serikat.
Dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) setelah Indonesia merdeka.
Tokoh-tokoh penting
Delegasi Indonesia: Sutan Sjahrir, A.K. Gani, Amir Sjarifuddin, dan lainnya.
Delegasi Belanda: Hubertus van Mook dan Prof. Dr. Ir. W. Schermerhorn.
Delegasi Inggris (sebagai penengah): Lord Inverchapel dan Lord Killearen.
Dampak perjanjian
Dampak negatif: Wilayah Indonesia yang diakui secara de facto sangat terbatas, dan perjanjian ini akhirnya dilanggar oleh Belanda dengan melakukan Agresi Militer I pada 21 Juli 1947, yang memicu kecaman internasional.
Dampak positif: Perjanjian ini merupakan bentuk pengakuan awal dari Belanda terhadap eksistensi Indonesia, meskipun hanya secara terbatas dan tidak penuh.
Perundingan lanjutan: Pelanggaran perjanjian ini membuka jalan untuk perundingan berikutnya, yaitu Perundingan Renville di atas kapal USS Renville pada Januari 1948.

Pihak Belanda terdiri dari:

Willem Schermerhorn, Perdana Menteri Belanda dari tahun 1945–1946
F. De Boer, politikus Liberal
Max van Poll, politikus Partai Katolik
Hubertus van Mook, Letnan Gubernur Jenderal (ex officio)
Di pihak Republik ada:

Sutan Sjahrir, Perdana Menteri
Amir Sjarifoeddin, Menteri Pertahanan
Johannes Leimena, Menteri Muda Kesehatan, Ketua Partai Kristen Indonesia
Hasil perundingan tersebut menghasilkan 17 pasal yang antara lain berisi:

Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatra, dan Madura.
Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
Pihak Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
Mengenai RIS sendiri, Soekarno menerima kompromi tersebut untuk menghindari perlawanan terhadap Belanda yang sulit dan pemahamannya mengenai sistem republik, maka ia dapat memimpin RIS yang mayoritasnya penduduk Indonesia. Sementara Komisi Jenderal juga menerima kompromi tersebut karena kemungkinan perang dapat dihindari dan hubungan Belanda dengan Indonesia dapat berlanjut.(Redaksi)

Pos terkait