Pengamat Kebijakan Publik Soroti Transformasi Arunika Palutungan: Dari Lahan Pertanian ke Kawasan Terbangun

Kuningan| Tribun TIPIKOR.com

Pengamat kebijakan publik yang juga pengurus Forum Masyarakat Sipil Independen (FORMASI), Santos Johar, menyoroti secara kritis transformasi besar yang terjadi di kawasan wisata Arunika Palutungan. Ia menanggapi pernyataan Mukhlis, salah satu anggota tim Puspita Cipta Grup, yang memaparkan perbandingan citra satelit antara tahun 2015 dan 2025 sebagai bukti perubahan kawasan. Pernyataan tersebut disampaikan Santos pada Senin (15/12/2025).

Santos menegaskan bahwa dirinya secara prinsip sepakat bahwa kawasan Palutungan telah mengalami perubahan signifikan dalam satu dekade terakhir. Namun, ia menilai keliru apabila perubahan tersebut dibingkai dengan narasi bahwa wilayah Palutungan pada masa lalu merupakan hamparan lahan tandus.

“Sepengetahuan saya, sejak era 1980-an kawasan itu adalah lahan pertanian sayuran. Karena membutuhkan paparan sinar matahari, pepohonan besar memang jarang ditemukan,” tegasnya.

Menurut Santos, kondisi citra satelit yang tampak coklat pada 20 Oktober 2015 tidak dapat dijadikan dasar untuk menyebut kawasan tersebut sebagai lahan tandus. Ia menjelaskan, warna coklat tersebut erat kaitannya dengan musim kemarau panjang, di mana lahan pertanian sayuran sering kali tidak ditanami akibat keterbatasan air. Bahkan, citra satelit pada Juni 2014 justru menunjukkan kawasan yang hijau.

“Fakta ini membantah klaim bahwa kawasan itu dulunya tandus,” ujarnya.

Lebih jauh, Santos menyebut perbandingan citra satelit antara 2015 dan 2025 justru mengungkap fakta yang tidak terbantahkan: sekitar ±8 hektare lahan pertanian sayuran telah bertransformasi menjadi kawasan terbangun yang kini diisi hotel serta berbagai fasilitas dan atraksi wisata Arunika.

Namun, ia mempertanyakan arah transformasi tersebut. Menurutnya, perubahan besar ini patut dikaji secara mendalam, khususnya terkait apakah pembangunan kawasan telah didasarkan pada manajemen risiko yang matang atau sekadar mengejar manfaat ekonomi jangka pendek.

“Alam memiliki hukum-hukumnya sendiri. Ia akan bekerja tanpa negosiasi,” katanya mengingatkan.

Santos juga mengkritisi alasan penggunaan alat berat dalam pembangunan jalan di area seluas kurang lebih 20 hektare, yang disebut-sebut dilakukan karena sulitnya membabat tanaman kaliandra serta untuk kepentingan pembibitan tanaman arboretum.

“Alasan itu kurang masuk akal. Akan lebih jujur jika disampaikan bahwa wilayah tersebut memang disiapkan sebagai area pengembangan wisata Arunika, sehingga membutuhkan jalan yang lebar dan betonisasi untuk menunjang aksesibilitas pengunjung,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa pemanfaatan tanah milik pribadi pada prinsipnya tidak dilarang. Namun, ketika pemanfaatan tersebut mencakup area yang luas, dampak lingkungan dan sosial tidak bisa dihindari.

“Yang perlu dilakukan adalah menghitung secara terbuka dampak positif dan negatifnya. Supaya jika dampak negatif muncul, kita tidak gagap dan tidak ewuh pakewuh,” tegasnya.

Menutup pernyataannya, Santos mengajak semua pihak untuk mengubah pola pengelolaan kawasan. Menurutnya, sudah saatnya pengembangan wilayah tidak hanya berorientasi pada manajemen bisnis ekonomi, tetapi juga mengedepankan manajemen risiko lingkungan dan sosial.

“Mari bernarasi untuk mencerdaskan masyarakat, bukan dengan narasi pembodohan. Mari berdialektika untuk mencari kebenaran, bukan sekadar pembenaran,” pungkasnya.

| red |

Pos terkait