Cendikiawan: Keadilan yang datang terlambat, tetaplah lebih baik daripada keadilan yang diabaikan. Dan jika kasus Wajidan ini dibiarkan, maka yang sesungguhnya kering bukan hanya sawah, melainkan hati nurani pemerintahan.
TUBAN Jatim, tribuntipikor.com // Ketulusannya untuk membantu sesama justru berujung pilu bagi Wajidan, seorang warga Desa Magersari, Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Bagaimana tidak.!di usia senjanya, ia harus menelan kenyataan pahit setelah Hippa HMJ (HIPPA Muslim Jidan) yang ia rintis dengan jerih payahnya sendiri kini dirampas atau beralih pengelolaannya ke pihak desa setempat.
Disampaikan bahwa HIPPA tersebut dibangun Wajidan secara mandiri. Seluruh biaya perintisan berasal dari uang pribadi, bahkan sebagian diperoleh dari pinjaman Bank yang hingga hari ini belum lunas.
Tujuan awalnya Wajidan sangatlah sederhana, namun mulia, yakni; menyediakan pengairan sawah bagi petani sekitar agar mereka dapat bercocok tanam dengan layak, sekaligus menjadi sumber mata pencaharian bagi dirinya.
Selama bertahun-tahun, sistem pengairan itu mengalirkan kehidupan bagi lahan pertanian warga. Namun, perjalanan panjang yang dibangun dengan niat baik itu justru berakhir dengan kisah yang menyisakan luka. Pasalnya, belum lama ini, kemudian HIPPA yang ia rintis telah diakuisisi oleh pemerintah desa.
Proses pengambilalihan tersebut ia nilai tidak etis dan tidak mencerminkan rasa keadilan.
Dalam rapat bersama desa, telah disepakati beberapa klausul. Klausul pertama mewajibkan kontribusi Pendapatan Asli Desa (PADes) yang awalnya ditetapkan sebesar Rp30 juta per tahun, lalu setelah negosiasi disepakati menjadi Rp10 juta per tahun.
Permasalahan muncul pada klausul kedua yang belakangan baru ia sadari. Dalam klausul tersebut tertulis bahwa seluruh aset HIPPA harus diserahkan kepada desa.
Wajidan mengaku tidak memahami isi klausul tersebut secara utuh.
Faktor usia dan ketidaktelitian membuatnya tidak menyadari bahwa kesepakatan itu justru menjadi jerat bagi dirinya.
“Saya tidak tahu kalau semua aset harus diserahkan. Saya sudah tua, kurang teliti, dan merasa terjebak,” ujar Wajidan lirih saat ditemui, dengan mata berkaca-kaca.
Ironisnya, hingga saat ini pinjaman bank yang digunakan sebagai modal perintisan masih harus ia tanggung seorang diri.
Sementara itu, usaha HIPPA beserta seluruh asetnya telah diambil alih sepenuhnya oleh desa.
Ia pun mengaku tidak menerima bagi hasil apa pun. Bahkan, lahan sawah miliknya sendiri kini tidak lagi mendapatkan aliran air.
“Jangankan bagi hasil, sawah saya saja sekarang tidak dialiri air,” tuturnya sembari menyeka matanya yang tampak basah.
Dampak daripada itu, untuk bertahan hidup dan mencukupi kebutuhan anak istrinya, Wajidan kini bekerja serabutan sebagai buruh mencangkul dan buruh mentraktor sawah milik orang lain.
Dari tangan yang dahulu membangun sistem pengairan bagi banyak petani, kini ia hanya mengandalkan upah harian yang tak seberapa, di tengah beban hutang yang masih membelit hidupnya.
Kisah Wajidan bukan sekadar persoalan aset atau perjanjian tertulis, melainkan tentang rasa keadilan yang terasa hilang.
Dimana, seorang perintis yang membangun dengan niat tulus untuk kepentingan bersama, kini harus menanggung beban berat tanpa kejelasan perlindungan.
Ia berharap, masih ada ruang bagi keadilan, kebijaksanaan, dan kepedulian dari pihak-pihak terkait agar persoalan ini dapat diselesaikan secara adil dan manusiawi.
Agar niat baiknya tidak berakhir sebagai luka, dan pengabdian kepada masyarakat tidak dibalas dengan ketidakadilan.
“Oleh sebab itu, semoga Mas Bupati Tuban Lindra ada perhatian Mas,” katanya dengan suara bergetar. (King/Tim)





