GMBI: Dengan jawaban ini secara tidak langsung tentunya persoalan semakin kabur.
TUBAN Jatim, tribuntipikor.com //
Viralnya pemberitaan diberbagai Link media tentang peluncuran Program Desa Digital di wilayah Kabupaten Tuban, Jawa Timur, serta diduga ada indikasi lepas dari tanggung jawab antar Dinas OPD terkait, tampaknya kini semakin tak terkendalikan, sehingga kali ini kembali menuai sorotan publik.
Program yang digadang-gadang mampu memperkuat layanan internet desa yang dibiayai miliaran rupiah setiap tahunnya dari anggaran Dana Desa dan PAD, justru kali ini menimbulkan banyak persoalan, dikarenakan jaringan internetnya lemot serta biaya layanan dianggap mahal sekali.
Mirisnya.!, justru saat ini terjadi tumpang tindih tentang kewenangan antar Dinas terkait sesuai SOPnya.
Berdasarkan data, disetiap desa/kelurahan di Tuban telah mengalokasikan kurang lebih Rp.30 juta per tahunnya untuk biaya layanan internet desa.
Dengan total 328 desa/kelurahan, maka anggaran yang terserap mencapai hampir Rp.9,8 miliar per tahun. Angka fantastis ini dinilai tidak sebanding dengan kualitas layanan yang diterima oleh warga desa.
“Internetnya lemot pak! harga terlalu mahal dibandingkan dengan harga pasar, tentu layanannya tidak sesuai dengan harapan masyarakat luas,” ujar Ketua LSM GMBI Wilayah Teritorial Jawa Timur, yang menyoroti persoalan ini.
Sesungguhnya, LSM GMBI telah melayangkan surat klarifikasi resmi kepada Dinas Sosial P3APMD Tuban untuk meminta penjelasan terkait skema anggaran dan kualitas layanan internet desa. Namun, surat tersebut belum dibalas.
Tampaknya tidak berhenti di situ saja, kemudian LSM GMBI pun mendatangi langsung Dinas Sosial P3APMD dan bertemu dengan kepala dinas.
Dalam pertemuan itu, sejumlah pertanyaanpun diajukan: mengapa biaya internet desa sangat mahal, bagaimana mekanisme penunjukan penyedia jasa, siapa perusahaan yang ditunjuk, berapa kecepatan Mbps yang dijanjikan, dan mengapa di lapangan jaringan sangat lemot.
“Saya orang baru, program ini sudah berjalan sebelum saya menjabat. Saya khawatir salah menjawab karena tidak terlalu paham detailnya. Program ini juga erat kaitannya dengan Dinas Kominfo,” ujar kepala dinas sebagaimana ditirukan pihak LSM.
Tidak pakai lama, LSM GMBI kemudian bertandang melakukan klarifikasi ke Dinas Kominfo Tuban namun Kepala Dinas mengarahkan ke staf teknis bernama Sumarno. Dari hasil klarifikasi, Sumarno menjelaskan:
“Untuk internet desa, Dinas Kominfo hanya memastikan aplikasi Siskeudes bisa diakses dari 311 desa dengan jaringan tertutup. Aplikasi ini tidak berbasis website. Mengenai penganggaran dan lain-lain itu ranahnya Dinsos P3APMD dan pihak desa,” jelasnya.
Terpisah, dari pihak Dinsos P3APMD merasa bukan domainnya, disisi lain pihak Dinas Kominfo mengaku hanya mengurus secara teknis aplikasinya, sementara warga tetap menanggung beban biaya internet yang dianggap mahal dan tidak memadai.
Menanggapi fenomena saling lempar kewenangan tersebut, Ketua LSM GMBI menegaskan bahwa pejabat publik seharusnya profesional dan terbuka kepada masyarakat.
“Sebagai lembaga sosial kontrol, kami wajib memonitoring. Dana yang dipakai untuk internet desa yang bersumber dari anggaran Dana Desa yang jumlahnya mencapai miliaran rupiah disetiap tahunnya. Ungkapnya.
Kami mendesak Dinsos P3APMD segera membalas surat klarifikasi kami. Jangan malah saling lempar tanggung jawab antar Dinas, ini perilaku pejabat publik yang tidak profesional. Tegasnya.
Kondisi ini mempertegas lemahnya transparansi dalam pengelolaan anggaran program Desa Digital. Publik menunggu jawaban tegas: siapa penyedia jasa internet desa, berapa sebenarnya kecepatan layanan yang diberikan, dan mengapa biaya jauh lebih mahal dibandingkan harga pasar.
Olehnya, selama belum ada penjelasan resmi, program yang di atas kertas ditujukan untuk memajukan desa digital di Tuban justru semakin dipandang sebagai proyek besar yang gagal menyentuh kebutuhan riil dimasyarakat. Pungkasnya. (Swd)
Editorial: Solikin Korwil Jatim