Korupsi Chromebook: Potret Bobroknya Institusi Pendidikan Indonesia

Pendidikan selalu dipercaya sebagai ruang mulia tempatnya para cendikiawan berkumpul untuk mengembangkan ilmu demi berbagai kemajuan yang dicita-citakan. Dalam perspektif Pendidikan berbasis fitrah, Pendidikan ini adalah ruang tumbuh segala potensi baik manusia untuk menjelma menjadi manusia yang insan kamil, Rahmat bagi semesta alam. Kementerian Pendidikan adalah salah satu sarana dan prasarana tercapaianya tujuan Pendidikan tersebut. Secara ideal, isinya pasti orang-orang yang ahli, terpercaya dan memiliki integritas pada Pendidikan. Namun demikian, satu proyek besar pengadaan laptop “chromebook” yang diduga kuat dikorupsi sejumlah pejabat tinggi termasuk sang Menteri saat itu, telah menodai institusi ini. Ditengarai korupsi ini telah merugikan negara senilai hampir 2 Triliun. Sungguh nilai yang sangat fantastis. Ternyata, Kementerian Pendidikan pun tak beda dengan sektor lain, banyak “tikus” dan “rampok” di dalamnya. Ini sangat memalukan.

Kurang apa dengan perangkat hukum korupsi di Indonesia? Indonesia sebenarnya memiliki perangkat hukum yang cukup kuat untuk memberantas korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengatur hukuman yang berat, bahkan sampai pidana seumur hidup bagi pejabat atau siapa pun yang memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan negara. Pasal 2 dan Pasal 3 menegaskan ancaman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara, serta denda hingga Rp1 miliar. Selain itu, aset hasil korupsi disebutkan wajib dirampas. Namun, pada pelaksanaannya perampasan aset ini sangat sulit terutama untuk harta koruptor yang sudah dialihkan. Disinilah urgensi RUU Perampasan Aset harus segera disahkan.

Yang sangat disayangkan adalah hadirnya KUHP Baru yang bukannya memperkuat jerat hukum korupsi tetapi justru sebaliknya. KUHP Baru memasukkan korupsi ke dalam tindak pidana umum sama seperti kejahatan lainnya. konsekuensi hukumnya adalah tidak adanya lagi kekhususan kewenangan diantara aparat penegak hukum, mulai dari pihak Kepolisian, Kejaksaan, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di dalam menjalankan tugasnya. Akibatnya, KPK tidak lagi berwenang melakukan penyadapan tanpa izin dari pengadilan. Lebih lanjut, independensi KPK terus dikurangi dengan status pegawainya yang berubah menjadi ASN. Penegakan hukum terkait korupsi di negeri ini makin menyedihkan. Hukum yang seharusnya makin menguatkan pemberantasan dan pencegahan korupsi, malah jadi sangat ramah para koruptor.

Kasus chromebook baru saja dimulai proses pemeriksaannya, mari kita lihat bersama bagaimana akhirnya nanti di ruang sidang pengadilan. Belajar dari kasus ini, menghukum koruptor itu penting, tapi langkah yang lebih penting adalah mencegah adanya korupsi ke depan. Dari kasus ini, ke depan sistem pengadaan barang dan jasa harus betul-betul transparan dan terbuka, tidak boleh lagi dirancang dengan spesifikasi yang menguntungkan satu vendor saja. Audit independen harus menjadi kewajiban, bukan lagi pilihan. Dan yang utama adalah budaya integritas perlu ada di semua lini dari level elit sampai pelaksana.

Kasus Chromebook ini bukan sekedar pengadaan laptop, tetapi Ia merupakan simbol buramnya wajah Pendidikan negeri ini. Pendidikan yang marwahnya dihancurkan oleh kerakusan dan kekuasaan yang sewenang-wenang. Jika proses kasus ini selesai sampai putusan, harapannya hakim akan memberi hukuman yang maksimal dan benar-benar memberi efek jera. Tindak pidana korupsi ini sangat layak dikenai pasal ganda dengan Undang-Undang HAM, sebab dampaknya bukan hanya melanggar hukum, tapi juga melanggar banyak hak asasi jutaan rakyat Indonesia. Putusan yang berat merupakan salah satu pencegahan sistematis, yang tidak hanya menguatkan aturan, tetapi juga membangun karakter bangsa ke depan yang anti korupsi.

Penulis:
Rachminawati
Dosen di Departemen Hukum Internasional FH Unpad
Email: rachminawati@unpad.ac.id

Pos terkait