Garut : Tribuntipikor.com
“Di era digital saat ini, membuat sebuah media bukan lagi perkara sulit. Cukup bermodal perangkat ponsel atau laptop, koneksi internet, dan sedikit pengetahuan teknis, siapa pun bisa mendirikan portal berita daring. Fenomena ini membuat jumlah orang yang mengaku wartawan kian menjamur di berbagai daerah, termasuk di Kabupaten Garut.
Namun di balik kemudahan ini, muncul persoalan serius: tidak semua yang mengaku wartawan memahami makna dan etika profesi jurnalis. Bahkan, sebagian di antaranya menjadikan berita terutama kasus-kasus sensitif sebagai alat untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Profesi wartawan sejatinya adalah profesi terhormat. Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 menegaskan bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur melakukan kegiatan jurnalistik, mulai dari mencari, memperoleh, mengolah, hingga menyebarluaskan informasi melalui media massa.
Sementara Kode Etik Jurnalistik mengatur dengan tegas prinsip-prinsip seperti keberimbangan berita, verifikasi, dan larangan beritikad buruk.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan adanya penyimpangan. Banyak media yang berdiri tanpa melalui proses verifikasi Dewan Pers, tidak memiliki redaksi yang jelas, bahkan tidak memiliki sistem editorial yang profesional. Wartawan yang bekerja di dalamnya pun kadang tidak memiliki latar belakang atau pelatihan jurnalistik yang memadai.
“Sekarang ini siapa saja bisa bikin media, bahkan cukup buat blog gratisan pun bisa. Masalahnya, banyak yang pakai label wartawan untuk kepentingan di luar jurnalistik,” ungkap seorang pegiat media lokal di Garut.
Fenomena yang meresahkan adalah ketika oknum wartawan memanfaatkan kasus-kasus tertentu baik dugaan pelanggaran hukum, konflik internal lembaga, maupun permasalahan pribadi sebagai senjata untuk menekan pihak terkait.
Modusnya biasanya berawal dari pemberitaan sepihak yang hanya menampilkan satu sisi cerita. Setelah berita tayang, pihak terkait dihubungi dengan tawaran “penyelesaian” tertentu agar berita dihapus atau diubah.
Dalam beberapa kasus, tekanan dilakukan dengan mengancam akan memviralkan berita tersebut ke media lain jika tidak ada “kompensasi” yang diberikan.
Senin (18/8/2025).
Akibat maraknya praktik semacam ini, kepercayaan publik terhadap media mulai tergerus. Masyarakat kesulitan membedakan mana wartawan profesional yang bekerja sesuai kode etik dan mana yang sekadar memanfaatkan atribut pers untuk keuntungan pribadi.
“Banyak masyarakat yang jadi takut kalau berurusan dengan wartawan. Padahal wartawan yang benar itu bekerja untuk kepentingan publik, bukan untuk menakut-nakuti,” kata seorang akademisi komunikasi di Garut.
Fenomena ini juga berdampak pada wartawan profesional yang bekerja sesuai aturan. Mereka kerap mendapat stigma negatif hanya karena ulah segelintir oknum yang merusak citra profesi.
Pengamat pers menilai, maraknya fenomena wartawan “instan” ini disebabkan oleh lemahnya pengawasan terhadap media baru serta minimnya kesadaran publik untuk melakukan verifikasi terhadap media dan wartawan yang datang.
Instansi, lembaga, maupun narasumber disarankan untuk tidak segan menanyakan identitas resmi, kartu pers, dan contoh karya tulis wartawan sebelum memberikan informasi. Hal ini untuk memastikan bahwa mereka benar-benar bekerja untuk media yang terdaftar dan memiliki kredibilitas.
Profesi jurnalis bukan sekadar titel atau kartu identitas. Ia adalah amanah yang menuntut integritas, keterampilan, dan rasa tanggung jawab sosial. Menggunakan profesi ini untuk mencari keuntungan pribadi dari kasus yang diberitakan tidak hanya melanggar kode etik, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap pers secara keseluruhan.
Jika fenomena ini terus dibiarkan, marwah jurnalistik akan semakin pudar. Yang tersisa hanyalah label “wartawan” tanpa substansi, dan media pun kehilangan fungsinya sebagai sumber informasi yang kredibel. (TIM)