Sumbawa Besar NTB
tribun Tipikor .Com — Alih alih mendapat kesejahteraan malah berujung pahit dialami para guru non-ASN di tingkat PAUD/TK, SD, dan SMP yang berstatus negeri , pahlawan tanpa tanda jasa yang telah bertahun-tahun meng abdikan diri mendidik generasi penerus bangsa, kini harus mengembalikan tunjangan sertifikasi yang telah diterima.
Alasan yang dikemukakan Kasi TK Diknas Sumbawa
Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan adalah Persesjen 1 Tahun 2025, khususnya lampiran B huruf e. Sebuah alasan kamu di atas hantuyang terasa begitu kering dan tak berempati.
Namun, di balik alasan formal tersebut, tersimpan aroma ketidak jelasan dan dugaan intimidasi serta teror. Informasi mengenai penghentian dan pengembalian tunjangan disampaikan tanpa surat resmi, dan tanpa mekanisme administrasi yang transparan, mengingat dinas adalah lembaga resmi pemerintah dan seakan-akan para guru dipaksa untuk tunduk pada kebijakan. Apakah ini cara pemerintah menghargai pengabdian mereka….( red )
ironis ” pemerintah daerah bersama Dinas terkait terkesan cuci tangan dan saling melemparkan yang terkesan tidak terbangun komunikasi dengan baik dan benar,malah menekankan pengembalian uang tunjangan, tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi dan beban hidup para guru non-ASN tersebut. Tidak ada solusi konkret yang ditawarkan, tidak ada upaya untuk mencari jalan keluar agar pembayaran tunjangan dapat berlanjut.
Pemerintah seakan menutup mata terhadap realita yang dihadapi para guru di lapangan.
Sejak berlakunya Persesjen 1 Tahun 2025, tidak ada tindakan nyata dari pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Yang ada hanyalah ancaman dan intimidasi, serta ajakan untuk kembali ke sekolah swasta. Alasan yang disampaikan pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumbawa sangat tidak mendasar, mulai dari kesalahan peng inputan yang mengakibatkan cairnya tunjangan dan klaim bahwa pembiayaan tunjangan berasal dari APBD kabupaten yang sedang mengalami defisit anggaran. Benarkah demikian? Ataukah ini hanya akal-akalan untuk menghindari tanggung jawab?
Dari keterangan beberapa sumber yang namanya tidak ingin disebutkan. Kepada Media Jejakdigital.net, mereka mengaku harus mengembalikan tunjangan sertifikasi, padahal telah menyelesaikan semua tahapan dan peoses belajar mengajar. Bahkan data dalam Dapodik tervalidasi, artinya pencairan sertifikasi sudah dapat dilakukan. Akan tetapi pencairan tersebut hanya menjadi harapan tanpa hasil
jika ada kesalahan atau ketidakcocokan syarat administrasi, tentu itu semata-mata bukan kesalahan dari pihak guru, justru pemerintah lah yang tidak peka serta tidak adanya upaya antisipasi terhadap kemungkinan yang terjadi.
Seharusnya pemerintah berkaca dari kabupaten lain yang bisa melewati permasalahan serupa tanpa membebani guru dengan pengembalian tunjangan sertifikasi. Dari penelusuran tim investigasi di Kabupaten Sumbawa Barat, mengingat Persesjen 1 tahun 2025 adalah aturan yang sama yang diberlakukan oleh pusat. Tidak bermaksud membandingkan, tapi sebagai referensi terkait aturan tersebut dan bagaimana kebijakan yang diambil pemerintah KSB. Berdasarkan informasi yang berhasil kami himpun, upaya pengembalian tunjangan sertifikasi tidak terjadi dan berlaku di KSB.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumbawa Barat Agus. S.Pd.,M.M menyatakan kesejahteraan guru menjadi prioritas, bahkan aturan yang dikeluarkan Bupati sangat berpihak, terbukti dengan kebijakan Pemerintah Sumbawa Barat yang memberikan SK bukan hanya kepada guru non-ASN yang berada di sekolah negeri tapi juga kepada guru yang bernaung di bawah yayasan sebagai upaya antisipasi terhadap permasalahan yang kini terjadi pada guru di Kabupaten Sumbawa.
Pantauan media tribun tipikor.com menggambarkan betapa ironisnya nasib guru non-ASN di Sumbawa. Perjuangan dan jasa besar dalam mencerdaskan anak bangsa kini semakin diuji, Pengorbanan mereka ditukar dengan aturan yang terkesan tidak adil, ketidak jelasan informasi,yang terkesan intimidasi, serta diamnya pemerintah daerah menunjukkan betapa rendahnya penghargaan terhadap profesi guru.
Kisah pilu ini semakin menyayat hati jika mengingat perjalanan para guru yang ikut membangun pengembangan sekolah tempat mereka mengajar meskipun dengan status swasta. Tapi ketika sekolah mereka beralih status menjadi negeri, dimana proses persyaratan peralihan status sekolah tersebut menggunakan data dan pengalaman mereka yang telah mengabdi selama bertahun tahun bahkan puluhan tahun hanya untuk meloloskan proses peralihan, sementara guru non-ASN justru dikorbankan setelah beralih status dari swasta menjadi negeri.
Terlebih lagi, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumbawa, entah karena titipan atau kedekatan, justru dengan mudah memberikan rekomendasi kepada guru ASN bersertifikasi dari sekolah lain untuk pindah ke sekolah tersebut dengan alasan pemenuhan jam mengajar. Sementara, para guru non-ASN bersertifikasi yang telah lama mengabdi dan bertaruh harus rela kehilangan jam mengajar dengan kehadiran guru ASN. Ini jelas menunjukkan adanya ketidakadilan dan diskriminasi yang nyata.
Pemerintah seharusnya mencari solusi yang adil dan berpihak bagi para guru non-ASN. Jika daerah tak mampu memberikan solusi, mestinya ada upaya komunikasi ke kementerian pendidikan pusat selaku pembuat aturan, bukan hanya menuntut, bukan juga solusi yang bersifat diakriminasi. Solusi yang diberikan harusnya lebih memihak demi masa depan dan kesejahteraan mereka.
Sudah saatnya pemerintah memperhatikan nasib para guru ini dan membuat kebijakan yang lebih humanis dan berkeadilan. Jangan sampai, semangat pengabdian mereka padam hanya karena ketidakpedulian pemerintah.
( Irwanto )