Rita: Dugaan pemborosan ini menjadi semacam pola yang berulang dalam pengelolaan APBD di berbagai OPD.
Bojonegoro Jatim, tribuntipikor.com //
Kegiatan belanja pelumas mesin atau stempet senilai Rp 107 juta oleh Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air (PU SDA) Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur dalam APBD tahun 2025 menjadi buah bibir di kalangan pegiat antikorupsi dan masyarakat sipil. Pengadaan ini tercatat di situs resmi SIRUP LKPP, dengan rincian pembelian 500 kilogram stempet, sementara harga satuannya mencapai Rp 214.000 per kg—jauh dari harga pasar yang wajar.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa harga rata-rata pelumas gemuk (grease) dengan spesifikasi umum EP2 lithium, yang lazim digunakan untuk perawatan alat berat dan pompa irigasi, hanya berkisar antara Rp 40.000 hingga Rp 75.000/kg di pasaran, bahkan untuk merek ternama seperti Shell, Mobil, atau Pertamina.
Kelebihan harga yang mencapai 200%–400% dari harga pasar ini, membuat sejumlah pihak menduga adanya praktik markup atau penggelembungan harga dalam proses pengadaan.
“Anggaran stempet Rp 107 juta untuk 500 kg? Itu bukan boros lagi, tapi indikasi pengadaan fiktif atau rekayasa harga,” tegas Faisal Anam, aktivis pemerhati kebijakan publik Bojonegoro.
Menurutnya, dalam proyek pemerintah, pelumas umumnya dibeli dalam jumlah besar dan melalui proses lelang atau e-purchasing yang seharusnya menekan harga, bukan justru membengkakkan anggaran, lanjutnya.
Saat dikonfirmasi, pewarta, Kepala Dinas PU SDA, Helmi Elisabeth, belum memberikan klarifikasi resmi. Pesan konfirmasi via WhatsApp hanya dibalas singkat “Saya masih ada kegiatan.”
Sikap pasif pejabat publik dalam menjawab pertanyaan justru memicu kecurigaan publik. Terlebih tidak ada transparansi mengenai merek stempet yang dibeli, spesifikasi teknis, atau untuk unit apa saja pelumas itu digunakan.
“Kalau memang pengadaan itu wajar dan sah, mestinya dijelaskan ke publik. Tapi kalau malah diam, bisa jadi ada sesuatu yang disembunyikan,” ujar Rita Anjani, jurnalis independen lokal.
Dugaan pemborosan ini menjadi semacam pola yang berulang dalam pengelolaan APBD di berbagai OPD. Barang-barang kecil seperti pelumas, cat, oli, paku, atau alat tulis sering kali dimanfaatkan sebagai “celah” untuk memainkan harga, karena pengawasannya cenderung longgar.
“Barang teknis seperti stempet itu jarang diperiksa BPK secara detail. Jadi sangat rawan disalahgunakan,” ungkap mantan pejabat pemerintahan.
Lebih ironis lagi, pengeluaran untuk pelumas ini terjadi di tengah keluhan petani yang irigasinya rusak dan belum diperbaiki. Beberapa saluran teknis di wilayah Bojonegoro bagian selatan bahkan masih dalam kondisi kritis akibat kerusakan pompa dan sedimentasi.
Sejumlah LSM pun mulai menyiapkan laporan kepada Inspektorat Daerah dan APIP agar belanja-belanja yang janggal, termasuk stempet ini, diaudit tuntas.
Kritik pun mengalir deras ke DPRD Bojonegoro agar tidak tinggal diam terhadap dugaan pemborosan ini. Beberapa anggota dewan diminta bersuara, bukan hanya membahas hal-hal seremonial.
“Mereka disumpah untuk mengawasi anggaran. Kalau anggaran kecil seperti ini dibiarkan, bagaimana dengan yang miliaran. ?” ujar warga bojonegoro pinggiran. (King/Tim)
Editorial: Korwil Jatim