Pelanggaran Etika Anggota DPRD Bukan Urusan Personal: Pelaporan untuk Mencari Kebenaran Bisa Dilakukan Oleh Siapa Saja

Kuningan|Tribun TIPIKOR.com

Dalam beberapa bulan terakhir, publik di Kabupaten Kuningan diguncang oleh isu dugaan pelanggaran etika publik oleh beberapa anggota DPRD aktif. Setelah kasus pertama dituntaskan, disusul dua kasus terakhir, Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Kuningan sudah memanggil pihak-pihak terkait atas pelaporan dugaan pelanggaran etika anggota dewan.

Yang menarik perhatian, ada fenomena pengaduan kepada Badan Kehormatan DPRD justru tidak dilakukan oleh korban langsung, melainkan oleh pihak ketiga yang menilai ada kepentingan publik yang dilanggar. Muncul pertanyaan: bolehkah pelapor bukan korban?

Aktivis sosial-keagamaan yang juga Sekretaris Forum Masyarakat Peduli Kemanusiaan (FMPK) Kabupaten Kuningan, Luqman Maulana, menegaskan bahwa pelaporan dugaan pelanggaran etika tidak semestinya dibatasi hanya dari korban langsung.

“Dalam konteks etika publik, pelanggaran bukan hanya merugikan individu, tapi bisa merusak martabat lembaga legislatif secara keseluruhan. Maka siapa pun yang memiliki data dan kepedulian, baik masyarakat, ormas, bahkan sesama anggota dewan, berhak mengajukan laporan. Ini bagian dari kontrol publik,” tegas Luqman kepada wartawan seusai pemanggilan oleh BK.

Menurut Luqman, banyak korban pelanggaran etika yang memilih diam karena sejumlah alasan, mulai dari tekanan psikologis, intimidasi kekuasaan, rasa malu, hingga janji-janji dari pelaku yang bersifat manipulatif. Di sinilah pentingnya peran masyarakat atau pihak ketiga sebagai penyalur aspirasi moral kolektif.

“Bahkan dalam banyak kasus, korban tidak sanggup bersuara karena posisi sosial dan relasi kuasa yang timpang. Kita tidak bisa menunggu korban bicara, sementara pelanggaran dibiarkan merusak sistem. Kalau ada bukti kuat dan fakta yang bisa diverifikasi, laporkan saja,” tambahnya.

Tak Harus Korban, Asal Berdasar Bukti

Secara hukum, tidak ada aturan yang mewajibkan pelapor dugaan pelanggaran etika harus korban langsung. Kewenangan Badan Kehormatan (BK) untuk memeriksa setiap aduan dugaan pelanggaran etik, tanpa membatasi siapa pelapornya, diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) — terakhir diubah dengan UU No. 42 Tahun 2014 dan perubahan-perubahan selanjutnya, Pasal 122 huruf a UU MD3, Peraturan DPR/DPRD tentang Tata Tertib, Peraturan Badan Kehormatan atau Kode Etik DPRD/DPR.

UU dan peraturan lainnya tersebut umumnya memberikan kewenangan kepada BK DPRD untuk melakukan pembinaan, pengawasan, penegakan disiplin anggota DPRD, serta menangani pengaduan terkait pelanggaran kode etik, termasuk yang diajukan oleh siapapun.

Selain itu, aturan internal di banyak DPRD daerah juga membuka ruang pelaporan dari berbagai pihak: masyarakat umum, tokoh agama, LSM, dan alat kelengkapan dewan seperti fraksi dan komisi.

“Ini bukan soal siapa pelapornya, tapi seberapa kuat data, bukti, dan analisis yang disampaikan. Jangan sampai laporan diabaikan hanya karena bukan dari korban. Kalau begitu, pelanggaran akan dibiarkan terus terjadi dalam senyap,” ujar Luqman.

Menjaga Marwah Lembaga DPRD

Luqman juga menegaskan bahwa menjaga etika bukan semata soal individu, tapi menyangkut marwah institusi DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat. Ia mendorong Badan Kehormatan DPRD untuk tidak selektif dalam memproses laporan.

“BK jangan pilih kasih. Kalau ada laporan yang masuk dengan bukti kuat, harus diproses secara terbuka dan objektif. Tidak boleh diam karena pelapornya bukan korban atau karena pelakunya punya posisi politik kuat,” ucapnya.

FMPK sendiri, tegas Luqman, siap menjadi bagian dari elemen masyarakat sipil yang mendorong pengawasan etika publik, termasuk memberikan pendampingan moral dan psikologis kepada korban atau pelapor.

Kenapa UU dan Peraturan lainnya membuka ruang yang luas kepada semua pihak untuk melaporkan dugaan pelanggaran etika anggota dewan dengan tujuan yang sangat jelas: menjaga integritas wakil rakyat dan menegakkan akuntabilitas moral di ruang publik. Dalam demokrasi yang sehat, suara rakyat — siapa pun dia — tetap sah, asal berdasar dan bertanggung jawab.

“Kita tidak boleh kompromi terhadap pelanggaran etika, sekecil apa pun. Demokrasi yang beradab dibangun di atas keberanian untuk menegakkan etika, bukan diam membiarkan pelanggaran,” pungkas Luqman Maulana.

Fenomena Tumbuhnya Kesadaran Kritis Masyarakat

Seusai pemanggilan oleh BK, kepada media Luqman menjelaskan, fenomena pelaporan dugaan pelanggaran etika anggota DPRD Kabupaten Kuningan oleh pihak ketiga—bukan oleh korban langsung—menunjukkan tanda penting: rakyat tidak lagi diam. Di tengah krisis kepercayaan terhadap elite politik, tumbuhnya inisiatif masyarakat untuk melaporkan ketidakpatutan moral dan etika menunjukkan kesadaran kritis yang sedang menguat.

“Ketika masyarakat tidak lagi menunggu korban bicara, tetapi mengambil peran aktif untuk menjaga nilai etika pejabat publik, ini pertanda bahwa demokrasi tidak lagi sekadar prosedural, melainkan mulai menyentuh ruang etis dan moral,” tegas Luqman.

“Masyarakat mulai menyadari bahwa skandal moral, penyimpangan pribadi, atau penyalahgunaan norma agama oleh wakil rakyat bukan sekadar urusan pribadi, melainkan menyangkut citra lembaga dan kepercayaan publik. Kesadaran ini adalah modal sosial penting untuk membangun tata kelola pemerintahan yang lebih sehat,” pungkasnya.

(Red)

Pos terkait