Kuningan|Tribun TIPIKOR.com
Dalam negara demokrasi yang sehat, peran wakil rakyat adalah menjadi penjaga keseimbangan kekuasaan. Mereka dipilih untuk berpihak pada kepentingan rakyat, bukan menjadi pelindung bagi pihak yang dikritik publik. Namun, dalam konteks Kuningan hari ini, kita justru dihadapkan pada kenyataan yang menyedihkan bahwa seorang Wakil Ketua DPRD, yang seharusnya menjadi corong aspirasi rakyat, malah tampil sebagai jurubicara informal pemerintah dan lembaga keuangan daerah.
Saya merujuk pada pernyataan publik Saw Tresna Septiani, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kuningan, yang dalam narasinya menyebut kritik publik terhadap Bank Kuningan dan rencana pembangunan Musholla di wilayah Pendopo Kuningan sebagai bentuk ujaran kebencian, berita bohong, bahkan mengarah pada fitnah yang bisa dijerat pidana. Pernyataan tersebut perlu dikritisi, baik secara logika politik, fungsi legislatif, maupun kerangka regulatif hukum positif Indonesia.
Kritik Terhadap Lembaga Publik Adalah Hak Konstitusional
Dalam pernyataannya, Ibu Saw menyampaikan bahwa penyampaian pendapat yang menimbulkan keresahan publik dapat dijerat dengan pasal pidana pencemaran nama baik atau berita bohong.
Analisis regulasi:
UUD 1945 Pasal 28E ayat (3): “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, menegaskan bahwa demonstrasi, opini, kritik, hingga unjuk rasa adalah bagian sah dari kehidupan demokrasi, selama tidak melanggar hukum secara nyata (misalnya merusak fasilitas, menghasut kekerasan, dsb).
Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008: MK menegaskan bahwa pasal pencemaran nama baik tidak boleh digunakan untuk membungkam kritik terhadap pejabat atau institusi publik, terutama bila berhubungan dengan transparansi dan akuntabilitas.
Dengan demikian, kritik publik terhadap Bank Kuningan sebagai lembaga keuangan milik daerah adalah sah dan dijamin konstitusi, selama tidak disampaikan dengan ujaran kebencian rasial atau ancaman kekerasan. Apalagi, bank daerah mengelola dana publik dan wajib terbuka terhadap evaluasi dari masyarakat.
Soal Bank Kuningan dan LDR: Buka Data, Bukan Narasi
Ketika masyarakat mempertanyakan Rasio Loan to Deposit (LDR) Bank Kuningan, Ibu Saw justru menganggap bahwa pertanyaan ini bisa menimbulkan rush dan kepanikan. Narasi seperti ini menempatkan rakyat sebagai pihak yang bersalah, alih-alih menuntut lembaga bank untuk transparan menjelaskan datanya.
Pertanyaannya sederhana: Apakah rakyat yang bertanya harus dibungkam, atau justru lembaga publik yang wajib menjelaskan?
Jika kita mengacu pada POJK Nomor 6/POJK.03/2015 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank Umum, maka setiap bank wajib mengungkapkan laporan posisi keuangan, rasio-rasio utama, termasuk LDR, kepada publik secara berkala. Artinya, jika publik mempertanyakan LDR, maka yang harus dilakukan adalah publikasi data, bukan ancaman hukum.
Pembangunan Masjid dan Cagar Budaya: Perlu Audit Regulatif, Bukan Pembelaan Emosional
Ibu Saw menyatakan bahwa rencana pembangunan masjid di area pendopo tidak melanggar aturan karena tidak memakai dana APBD dan bukan berada dalam zona Cagar Budaya. Pernyataan ini sangat problematis dan perlu kajian hukum.
a. Terkait pendanaan:
Jika menggunakan hibah donatur, maka perlu diklarifikasi:
Siapa donaturnya?
Apakah hibah dicatat dalam sistem hibah resmi?
Apakah sesuai dengan Permendagri Nomor 99 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Hibah?
Semua bentuk hibah, termasuk hibah non-uang untuk fasilitas publik atau pemerintahan, harus didaftarkan, tercatat, dan dipertanggungjawabkan secara tertulis. Jika tidak, maka sangat rawan dimanipulasi atau jadi celah pelanggaran etik dan administratif.
b. Terkait Cagar Budaya:
UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Pasal 95 ayat (1) menyebutkan bahwa zona penyangga dan kawasan sekitar cagar budaya juga harus dilindungi dari perubahan fungsi ruang yang mengganggu nilai historis.
Keputusan Bupati yang disebut Ibu Saw memang menunjukkan batas zona Cagar Budaya, tetapi apakah sudah dilakukan kajian tim ahli Cagar Budaya sebelum menetapkan pembangunan?
Opini pribadi seorang politisi tidak bisa menggantikan kajian teknis arkeologis, arsitektural, dan kultural yang wajib dilakukan sebelum pembangunan fasilitas di lingkungan cagar budaya. Ini soal prosedur, bukan sekadar niat baik.
DPRD Bukan Alat Klarifikasi Pemerintah
Terakhir, kami tegaskan bahwa fungsi utama DPRD adalah sebagai pengawas, bukan humas pemerintah atau pembela kebijakan eksekutif. Pasal 42 huruf b UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa DPRD memiliki fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan APBD.
Jika seorang Wakil Ketua DPRD menyampaikan pembelaan atas nama pemerintah, bank daerah, atau menjelaskan soal cagar budaya dan hibah tanpa merujuk pada fungsi pengawasan dan uji regulasi, maka fungsi legislatifnya telah kabur dan bergeser menjadi fungsi eksekutif.
Demokrasi Lokal Butuh Keberanian, Bukan Kepatuhan Buta
Kami dari GIBAS Resort Kuningan ingin mengingatkan bahwa demokrasi dibangun oleh keberanian rakyat dalam bersuara dan keberanian pemimpin dalam menerima kritik. Jika hari ini wakil rakyat memilih diam terhadap penyimpangan, dan justru menyerang balik kritik publik dengan ancaman pasal pidana, maka kita sedang menyaksikan kemunduran demokrasi lokal.
Sebagai Ketua GIBAS, saya nyatakan kritik terhadap kekuasaan adalah vitamin demokrasi. Dan wakil rakyat yang takut pada suara rakyat, adalah pengkhianat mandat.
Manap Suharnap
Ketua GIBAS Resort Kuningan
Gabungan Inisiatif Barisan Anak Siliwangi