Aktivis: Kenapa universitas yang ditunjuk, sistem CAT-nya, hingga operator utama, justru jadi misteri.?
Bojonegoro Jatim, tribuntipikor.com //
Proses pengisian perangkat desa (Perades) di Desa Kadungrejo, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur, kali ini kembali memantik bara perdebatan sengit. Dugaan praktik “jual beli jabatan dan kongkalikong” semakin terang benderang, nyaris tak menyisakan ruang bagi keadilan dan transparansi dan Publik.
Kabar membanjiri pemenangan Ali Muhtarom sebagai Kepala Dusun (Kasun) sebelum ujian berlangsung menyulut kecurigaan bahwa kursi jabatan hanyalah barang dagangan yang bisa “dipesan” oleh mereka yang cukup kuat menekan sistem.
Ironisnya, baik panitia maupun pemerintah desa gagap memberikan jawaban masuk akal saat diminta klarifikasi, seakan semua sudah terskenario sejak awal.
Kepala Desa Slamet pun tak lepas dari sorotan. Saat dikonfirmasi, ia berdalih seluruh proses sudah menjadi wewenang panitia,
Pernyataan ini justru memperlihatkan sikap lepas tangan dari pemimpin desa, yang seharusnya menjamin jalannya seleksi secara bersih dan bertanggung jawab.
Bahkan pihak perguruan tinggi yang ditunjuk sebagai pembuat soal tertutup rapat, seakan takut transparansi, membuka jalan bagi intervensi.
Sementara, sosialisasi pra-ujian yang seharusnya menjadi ruang edukasi publik justru dibuat seadanya dan semua gue,
Minimnya informasi teknis tentang sistem CAT (Computer Assisted Test), tanpa penjelasan soal siapa operator pengendali, bagaimana pengamanan data, hingga metode akurasi,
Materi yang disampaikan seperti formalitas belaka, nyaris tanpa substansi yang jelas.
Aktivis Bojonegoro, Chandra, tak tinggal diam. Ia menyebut bahwa praktik manipulasi dalam pengisian perangkat desa sudah menjadi rahasia umum, dan jika tak diawasi, Desa Kadungrejo, Baureno berisiko mengulang sejarah kelam demokrasi lokal.
“Panitia tak mungkin bekerja sendirian. Kenapa universitas yang ditunjuk, sistem CAT-nya, hingga operator utama, justru jadi misteri.? Transparansi semestinya bukan barang mewah,” tegasnya.
Demokrasi Tercekik oleh Kecurangan Terstruktur, jika dugaan ini benar, maka pengisian jabatan perangkat desa bukan lagi soal integritas, melainkan urusan tawar-menawar,
Demokrasi di tingkat akar rumput sedang tercekik, dan jika publik membiarkan, maka praktik “kursi pesanan” akan terus beranak pinak di desa-desa lain.
Sudah saatnya masyarakat jeli, dan Pers kritis, hadir menjadi pengawas, bukan sekadar pencatat. Ujian Perades bukan ajang basa-basi birokrasi, tapi momen menentukan arah pelayanan publik desa, bersih atau busuk. (King/tim)
Editorial: Solikin Korwil Jatim