Suranto, S.E., S.H., CCD : Narasumber Bisa Dipidana Jika Sebar Fitnah, Jangan Berlindung di Balik Undang-Undang Pers

Bekasi, TRIBUNTIPIKOR ONLINE _


Praktisi hukum Suranto, S.H. dari Kantor Advokat & Konsultan Hukum Suranto, S.H. & Partners mengingatkan seluruh pihak agar tidak sembarangan menyampaikan pernyataan di ruang publik, apalagi jika pernyataan tersebut bersifat menyesatkan, memfitnah, atau mencemarkan nama baik seseorang. Menurutnya, narasumber bukan bagian dari pers, sehingga tidak serta-merta terlindungi oleh Undang-Undang Pers.

“Jangan sampai narasumber merasa kebal hukum hanya karena pernyataannya dimuat di media. Pers punya perlindungan lewat UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, tapi narasumber tidak otomatis ikut terlindungi,” ujar Suranto kepada Awak media Selasa (11/6/205

Ia menegaskan bahwa narasumber bisa dikenai sanksi pidana apabila apa yang disampaikan ternyata merupakan informasi bohong, menghasut, atau merusak nama baik pihak lain.

Fitnah Bukan Kritik, dan Tidak Masuk Ranah Pers

Menurut Suranto, sangat penting untuk membedakan antara kritik dan fitnah. Kritik merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang konstruktif dan berdasarkan data atau argumen yang valid. Sebaliknya, fitnah adalah pernyataan yang tidak berdasar fakta dan bertujuan merusak reputasi pihak lain.

“Fitnah bukan produk jurnalistik dan tidak bisa disamakan dengan kritik. Kritik membangun. Fitnah menghancurkan. Dan itu bukan hanya melanggar etika, tapi juga bisa masuk ranah pidana,” tegasnya.

Dasar Hukum yang Berlaku

Suranto merinci sejumlah ketentuan hukum yang dapat menjerat narasumber jika menyampaikan informasi yang salah, bohong, atau merusak reputasi seseorang:

  1. Pasal 310 dan 311 KUHP – mengatur tentang pencemaran nama baik dan fitnah dengan ancaman pidana hingga 4 tahun penjara.
  2. Pasal 27 ayat (3) UU ITE – menyebutkan bahwa penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media elektronik dapat dipidana dengan ancaman hingga 4 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp750 juta.
  3. Pasal 28 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU ITE – mengatur pidana bagi siapa pun yang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik yang menyesatkan, menghasut kebencian, atau menyebarkan berita bohong yang dapat menimbulkan kerusuhan sosial.
  4. KUHP Baru – UU Nomor 1 Tahun 2023 yang akan berlaku mulai 1 Januari 2026:

Pasal 433 ayat (1) menyatakan bahwa siapa pun yang menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan tuduhan palsu yang disebarluaskan ke publik, dapat dipidana hingga 1 tahun penjara atau dikenai denda.

“Pasal-pasal itu jelas. Bahkan dalam UU ITE yang baru diubah tahun 2024, penyebaran informasi bohong yang menimbulkan keresahan publik bisa dikenai sanksi berat. Jadi jangan anggap enteng,” tegas Suranto.

Dampak Sosial Lebih Luas dari Sekadar Hukum

Selain ancaman pidana, Suranto menilai bahwa pernyataan menyesatkan yang dilontarkan narasumber juga berpotensi menimbulkan dampak sosial yang serius, termasuk kerusakan reputasi seseorang, ketegangan di tengah masyarakat, hingga rusaknya kepercayaan publik terhadap media.

“Sekali seseorang dirusak reputasinya oleh informasi yang salah, dampaknya bisa jangka panjang. Ini bukan cuma soal hukum, tapi juga soal etika publik. Maka itu saya imbau, jangan asal bicara jika tidak punya bukti,” tuturnya.

Suranto mengajak semua pihak, baik individu maupun lembaga, untuk lebih berhati-hati dan bertanggung jawab dalam menyampaikan pendapat atau tudingan kepada publik. Ia menekankan bahwa setiap narasi yang disampaikan harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum.

“Kalau tidak punya bukti, sebaiknya diam. Jangan sembunyi di balik kata ‘narasumber’ untuk menyebar fitnah. Karena jika dilaporkan, hukum tidak memandang status bicara, tapi isi dan akibat dari ucapannya,” pungkasnya.

Hak jawab dan koreksi selalu terbuka sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.(Red)

Pos terkait