Banda Aceh, Tribun Tipikor
27 Mei 2025 — Pembangunan sumber daya alam di Aceh, khususnya sektor pertambangan mineral dan batubara (Minerba), bukan sekadar urusan izin dan eksploitasi, melainkan menyangkut masa depan ekonomi, lingkungan, dan sosial masyarakat Aceh. Karena itu, seluruh elemen masyarakat harus ambil peran, bukan sekadar menjadi penonton, apalagi penghakim berdasarkan suka atau tidak suka.
Menurut Muhammad Nur, S.H., Direktur Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina) pengawalan publik terhadap sektor Minerba harus berpijak pada kepentingan jangka panjang. “Jangan biarkan narasi sesat dibentuk hanya karena kepentingan sesaat. Tambang harus dikawal agar memberi manfaat yang nyata bagi daerah,” ujarnya.
Salah satu yang kini menjadi sorotan adalah PT. Magellanic Garuda Kencana, pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi emas di lahan seluas 3.250 hektar di Aceh Barat. Perusahaan ini sempat dicabut izinnya oleh BKPM RI pada 2022 bersama tujuh perusahaan tambang lain di Aceh. Namun, Muhammad Nur, S.H. menegaskan bahwa Pemerintah Aceh telah bergerak cepat, menyurati pemerintah pusat dan menegaskan bahwa Aceh punya kewenangan otonom dalam pengelolaan Minerba.
“Langkah Pemerintah Aceh adalah bentuk nyata menjaga kekhususan Aceh. Kita tidak boleh diam saat kewenangan daerah dilangkahi,” tegas Muhammad Nur, S.H.
Kini, Pemerintah Aceh sedang menjalankan perbaikan tata kelola sektor tambang secara menyeluruh. Evaluasi izin, verifikasi faktual di lapangan, hingga peringatan resmi kepada pemegang IUP telah dilakukan. PT. Magellanic Garuda Kencana termasuk dalam daftar perusahaan yang diminta segera menyempurnakan kewajiban sesuai aturan.
Namun, di tengah proses tersebut, muncul narasi negatif yang tak berdasar. Padahal, menurut Muhammad Nur, S.H., perusahaan tersebut telah menunjukkan itikad baik dan tengah memperbaiki tata kelolanya. “Ini soal waktu dan komitmen. Jika mereka serius memperbaiki diri, kita dukung. Tapi kalau tak taat, izinnya bisa dicabut,” ujarnya.
Fenomena tambang rakyat tanpa izin yang masuk ke wilayah IUP juga menjadi persoalan lain. Di Aceh, banyak masyarakat yang menggantungkan hidup dari tambang rakyat, namun belum memiliki legalitas. Menanggapi hal itu, Muhammad Nur, S.H. menyampaikan bahwa Pemerintah Aceh sedang menyusun Qanun Pertambangan Rakyat sebagai solusi jangka panjang.
“Rakyat harus dilindungi, bukan dikriminalisasi. Tapi aturan harus dibuat agar mereka bisa beraktivitas secara legal dan aman,” kata Muhammad Nur, S.H.. Ia juga mengingatkan, bahwa klaim legal atau ilegal atas suatu aktivitas pertambangan hanyalah kewenangan Pemerintah Aceh dan aparat penegak hukum.
Namun demikian, jika setelah diberikan kesempatan dan waktu, para pemegang IUP tidak menunjukkan perbaikan, maka menurut Muhammad Nur, S.H., langkah tegas wajib diambil. “Tidak boleh ada kompromi. Kalau tidak taat aturan, cabut izinnya. Ini berlaku untuk siapa saja,” tegasnya.
Akhirnya, Muhammad Nur, S.H. mengajak semua pihak untuk bersama-sama mengawal upaya perbaikan tata kelola Minerba di Aceh. “Transparansi dan komunikasi terbuka sangat penting. Perusahaan harus membuka diri, masyarakat harus terlibat. Hanya dengan kebersamaan, tambang bisa menjadi berkah, bukan sumber konflik,” pungkasnya.