Banten, Tribuntipikor Online _
24 Mei 2025
Menikmati masa pensiun seharusnya menjadi masa yang paling indah karena bulan saja telah menunaikan amanah yang dibebankan selama menjadi pamong atau apa jabatan dan kedudukan sebagai abdi negara yang telah menunaikan tugas dan kewajiban menjadi pelayan rakyat. Sehingga masa pensiun yang indah itu bisa dinikmati bersama cucu atau asyik ngopi di beranda rumah setiap pagi sambil mendengar kicau burung perkutut atau sejenisnya, sambil sesekali membersihkan halaman rumah sebagai kompensasi dari olah raga untuk sekedar menjaga kebugaran tubuh.
Boleh jadi juga sesekali mencoba ketrampilan memasak atau sebatas menggoreng singkong seperti biasanya yang acap dibeli jadi di pasar hingga tinggal dikunyah saja bersama kopi panas atau teh manis kentel seperti di Pasar Klewer, Solo yang enak dan harum aromanya itu. Hanya dengan cara itu masa pensiun akan terasa lebih nikmat dan syahdu jauh dari kebisingan dan kegaduhan politik yang tak akan pernah ada ujungnya itu.
Jadi kalau pada usia pensiun justru semakin riuh dan gaduh akibat ulah politik keusilan sendiri itu, sungguh malang benar nasib di badan seperti pepatah Melayu yang mungkin sudah dianggap lapuk, namun realitasnya semacam pantun yang berjudul semakin tua semakin jadi, lantaran biangnya merembet seperti keladi.
Yang lebih tak sedap adalah, didukung usia yang nyaris usai, kok masih saja hujatan dan olok-olok.akibat ulah yang degil pada masa lalu. Padahal, seyogyanya di masa pensiun yang harus banyak tersimpan itu adalah deposito yang mungkin kelak dapat disisakan bagi para cucu yang mau meneruskan pendidikan secara serius, bukan sekedar untuk mendapat ijazah yang kini bisa dengan harga yang relatif murah.
Jadi, seperti kata Rocky Gerung, ijazah itu sekedar tanda bahwa seseorang itu pernah belajar, bukan pertanda dari seseorang yang memiliki pikiran jenial dan jernih dengan etika moral dan akhlak mulia sebagai landasan dari pribadi yang luhur. Minimal begitulah terjemahan gampangnya dari makna bebas dari sekolah yang dimaksudkan Paulo Freire atau konsep unschooling yang dipelopori oleh John Holt, seorang penulis dan pendidik adalah Amerika yang terkenal karena kritiknya terhadap sistem pendidikan tradisional.
Lain lagi pemikiran pendidik dan filsuf asal Brasilia, Paulo Freire yang terkenal karena konsep pendidikannya yang kritis dan emansipatoris. Jadi, pendidikan sebagai praktik kebebasan harus memposisikan pendidikan semacam alat semata untuk kebebasan individu dan masyarakat dari pendidikan serta ketidaksetaraan. Karena bagi Paulo Freire pendidikan itu harus membentuk manusia yang kritis dan reflektif.
Lalu bagaimana dengan pendidikan yang membelenggu atau bahkan mendatangkan malapetaka serta bencana — yang celakanya tidak hanya mendera diri sendiri — tetapi mengajak dan melibatkan orang serta pihak lain. Inilah dilema ranah intelektual yang terlepas dari frekuensi spiritual, sehingga tatanan etika, bangunan moral ambruk bersama akhlak yang menjadi pertahanan kepribadian serta identitas dari nilai-nilai luhur manusia yang sepantasnya harus lebih beradab. Tapi realitasnya justru sebaliknya, tidak lagi memiliki rasa malu hanya demi dan untuk kekuasaan dan kekayaan semata.
Agaknya, inilah yang menjadi alasan seorang kawan penyair yang enggan menggunakan satu pun gelar di depan maupun di belakang namanya, sehingga dia selalu tampil dengan nama saja, tanpa gelar kebangsawanan, tanpa gelar akademik dan tanpa adat dan keagamaan yang sesungguhnya bisa dijejerkan di depan maupun di belakang namanya. Sehingga dengan begitu dia tidak memiliki beban sosial maupun beban moral yang mungkin suatu ketika bisa ikut mempermalukan lembaga pendidikan, martabat dari masyarakat adat serta nama besar keluarganya yang juga bangsawan itu. Sebab semua gelar yang dianggap mentereng mengangkat derajat serta harga diri itu, juga mempunyai konsekuensi logis yang harus dipikul, setidaknya dari bobot dan kualitas bawaan dari gelar itu harus seimbang, tidak seperti besar pasak dari pada tiang.
Adapun kualitas dan bobot dari gelar yang disandang itu tidak hanya cukup ditakar oleh kemampuan intelektual — apalagi hanya dalam bentuk finansial — tetapi juga patut dan layak diimbangi oleh kecerdasan spiritual yang padat dan lengkap dipadati oleh nilai-nilai etika, kadar moralitas yang aduhai hingga benteng dari akhlak yang tangguh dan kuat. Tak tergoyahkan.(Red)