Hadiah Politik : Analisis dan Perbandingan dengan Negara LainOleh Prana Rifsana

Ketika kecil dulu orang tua kita mungkin pernah menyampaikan, “Nak, Jika kamu juara kelas bapak akan berikan kamu hadiah.” Atau bahkan dikalangan orang tua itu sendiri seperti seorang istri kepada suaminya, “Pah, kalau Papah malam ini pulang lebih cepat malam ini, Mamah akan berikan hadiah special buat Papah tercinta.” Sambil sang istri mengedipkan mata berkali-kali, lalu wajah suaminya memerah sambil membayangkan nanti malam.
Bicara tentang hadiah tentu hampir semua orang pernah mengalaminya, seorang yang menjanjikan hadiah berharap akan timbul motivasi dan semangat agar apa yang diharapkan dapat tercapai. Begitupula bagi seorang yang dijanjikan, akan terbayang mendapatkannya lalu mengerahkan semua daya Upaya, waktu, tenaga dan materi untuk mendapatkannya.
Hadiah tentu beraneka ragam jenisnya, dari dalam bentuk barang, bentuk layanan, bentuk uang dan lainnya, sesuatu hal yang sudah lama diharapkan atau diidam-idamkan sehingga dapat memancing motivasi seseorang atau kelompok, sehingga hal tersebut dapat menciptakan energi kolektif dalam mencapai sebuah tujuan bersama.
Dalam dunia politik, hadiah itu juga ada, sebut saja Hadiah Politik, bahkan mungkin kita pernah mendengar candaan masyarakat yang dijadikan sindiran buat para calon anggota legislatif atau calon kepala daerah atau Calon Presiden, dengan menggunakan tebakan ringan, “Apa perbedaannya Pil KB (Keluarga Berencana) dengan Pilkada?” Jawabannya adalah “Kalau Pil KB, menjadi anak kalau lupa diminum, Kalau Pilkada, lupa dengan janji politik ke Masyarakat kalau sudah jadi (terpilih)!”.
Fenomena Hadiah Politik atau bisa disebut Reward Politik merupakan lumrah dan umum terjadi dalam dunia politik. Hadiah Politik dapat diartikan sebagai pemberian imbalan atau keuntungan kepada pendukung politik, seperti jabatan, proyek, atau sumber daya lainnya sebagai bentuk balas budi atas dukungan mereka. Namun, hadiah politik ternyata juga dapat memiliki dampak negatif pada demokrasi dan pemerintahan yang efektif.
Di Indonesia, hadiah politik telah menjadi praktik yang umum dalam praktik politik yang ada saat ini. Hadiah politik dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti penunjukan pejabat, misalnya jabatan Menteri, Komisaris BUMN atau lainnya. Atau penguasa terpilih dapat memberikan proyek tertentu kepada pendukung politiknya yang telah membantu memenangkan proses elektoral di Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah.
Hadiah politik terkadang dapat memiliki dampak negatif pada demokrasi dan pemerintahan yang efektif, seperti terjadinya praktik korupsi dan nepotisme, karena pejabat dapat memberikan keuntungan kepada pendukung politik tanpa mempertimbangkan kemampuan atau kompetensi mereka. Selain itu Hadiah Politik dapat menyebabkan inefisiensi dalam pengelolaan anggaran dan sumber daya, karena keputusan diambil berdasarkan kepentingan politik dan membuat layanan dan kepentingan Masyarakat terabaikan.
Kelumrahan dan sudah umumnya pemberian Hadiah Politik ini menuntut pemerintah menjadi tetap menerapkan profesionalitas dan menerapkan prinsip Good Corporate Governance, menjaga agar layanan dan kepentingan masyarakat tetap harus dijaga. Perlu dilakukan pengawasan terukur untuk menjaga semua proses itu agar tidak menjadi backfire pada pertengahan masa jabatan pemerintahannya.
Walau para pendukung pemenangan yang menuntut adanya hadiah politik karena sudah dijanjikan misalnya sering tidak mau peduli dengan hal itu, sehingga perlu ada komunikasi terbuka dan transparan agar semua pihak dapat mengerti, dan proses pemerintahan dapat berjalan dengan baik, berapapun mereka memberikan sumbangan dana atau tenaga dalam proses pemenangan sebelumnya.
Jika proses komunikasi yang terbuka dan transparan tadi tidak terjadi tidak heran jika terkadang ada pendukung yang kecewa dan berbalik menyerang pemerintahan saat itu, bahkan juga ada yang berusaha menjatuhkan karena tingkat kekecewaan yang berlebihan. Jadi perlu ada komunikasi yang baik sehingga muncul sebuah pemahaman bersama.
Jika kita menoleh negara tetangga Indonesia, ada beberapa negara yang telah berhasil mengatasi problema dampak negatif dari hadiah politik tersebut dan menciptakan sistem politik yang lebih transparan dan akuntabel, Singapura misalnya, mereka memiliki sistem meritokrasi yang ketat dalam penunjukan pejabat. Pejabat dipilih berdasarkan kemampuan dan kompetensi mereka, bukan berdasarkan kepentingan politik, proses seleksi tetap dijalankan.
Lalu contoh lainnya adalah Selandia Baru yang memiliki sistem transparansi dan akuntabilitas yang kuat dalam pengelolaan anggaran. Pemerintah Selandia Baru secara teratur mempublikasikan laporan keuangan dan anggaran, sehingga masyarakat dapat memantau penggunaan anggaran via online.
Walaupun ada juga contoh negara lain yang masih berjuang mengatasi problematik dampak negatif hadiah politik seperti Filipina dan Meksiko. Filipina memiliki dinamika politik patronase yang kuat, di mana pejabat memberikan keuntungan kepada pendukung politik sebagai bentuk balas budi. Begitu pula di Meksiko, bahkan kasus korupsi dan nepotisme yang melanda negara topi lebar itu Sebagian besar berasal dari pemberian Hadiah Politik yang berlebihan.
Lalu bagaimana mengatasi dampak negatif hadiah politik di Indonesia, pemerintah dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran dan penunjukan pejabat. Pemerintah juga dapat memperkuat sistem meritokrasi dalam penunjukan pejabat, sehingga pejabat dipilih berdasarkan kemampuan dan kompetensi mereka. Lalu dengan membuka lebar keterlibatan masyarakat untuk partisipasi dalam proses demokrasi, sehingga dapat memantau penggunaan anggaran dan penunjukan pejabat serta lainnya.
Hadiah politik memang merupakan tantangan bagi demokrasi dan pemerintahan yang efektif di Indonesia. Namun, dengan mempelajari contoh negara lain dan menerapkan solusi yang tepat, Indonesia dapat mengatasi masalah hadiah politik ini dan menciptakan sistem politik yang lebih transparan dan akuntabel. Dengan demikian, Indonesia dapat meningkatkan kualitas pemerintahan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Walaupun demikian, janji hadiah politik tetaplah menjadi sebuah janji yang harus direalisasikan agar tercipta kondusivitas pemerintahan, dan kedepan seorang calon yang akan dipilih dituntut untuk memilah milah janjinya, apa saja yang mungkin dapat direalisasikan (jika jadi), dan apa saja yang sulit dilakukan sehingga tidak perlu dijanjikan. Seperti sebuah lagu yang dinyanyikan Batas Senja, “… Jika tidak hari ini mungkin minggu depan, Jika tidak minggu ini mungkin bulan depan, Jika tidak bulan ini mungkin tahun depan, segala harapan kan datang yang kita impikan ..!”

Penulis adalah pemerhati dunia perbankan, ketua umum Federasi Serikat Pekerja Jasa Keuangan (FSPJK) dan Pendiri Serikat Pekerja Bank Permata (SPBP), Indonesian Banking Union (IBU) serta Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan (JARKOM SP Perbankan)

Pos terkait