Rachminawati
Fitrah Based Edu Enthusiast
Pegiat Pendidikan
Dosen Hukum Internasional FH UNPAD
Pendidikan adalah hak asasi setiap anak. Hak ini bukan hanya soal duduk di bangku sekolah, tetapi hak untuk mendapatkan Pendidikan terbaik yang bermutu dan bermakna. Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025, kita diajak kembali merenungkan: apakah pendidikan kita sudah benar-benar memberikan hal tersebut?
Pendidikan di Kabupaten Garut tengah menghadapi tantangan besar dengan angka putus sekolah yang tinggi, ketimpangan akses, dan rendahnya mutu pembelajaran di sejumlah wilayah. Namun dari krisis ini, muncul kebutuhan mendesak untuk mengubah cara pandang kita soal Pendidikan. Pendidikan yang tidak hanya menuntut anak berprestasi tanpa memupuk fitrah mereka yang mampu menggali karakter anak sebagai individu ciptaan Allah yang hebat dan unik.
Menarik untuk melihat fase anak pelajar remaja, SMP dan SMA. Usia ini seringkali dianggap usia rawan karena kebanyakan anak cenderung terbawa arus zaman yang menjauhkan dirinya dari berbagai kebaikan. Padahal sesungguhnya usia 11–14 tahun adalah masa emas dalam pertumbuhan fitrah anak yakni masa penggemblengan bakat, akhlak, dan arah hidup. Di fase ini, peran guru, sekolah, dan orang tua tidak boleh hanya bersifat administratif, tetapi harus transformatif. Guru bukan hanya pengajar, melainkan mentor anak untuk bertumbuh. Sekolah bukan sekadar tempat belajar, melainkan harus menjadi ruang kehidupan nyata untuk anak. Pegiat pendidikan pun harus berpindah dari pola instruktif menjadi pendamping yang membimbing dengan hati sehingga menjadi sebuah Pendidikan yang bermakna. Hal ini yang nampaknya mulai sulit didapatkan oleh anak.
Gagasan ini sejalan dengan filosofi Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, yang menempatkan anak sebagai pusat dari proses pendidikan. Dalam semboyan terkenalnya, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani,” terkandung pesan kuat bahwa pendidikan harus memberi teladan, menginspirasi, dan mendampingi anak menemukan jati dirinya, bukan membentuk mereka dengan standard tertentu yang diseragamkan.
Sayangnya, ketika pendidikan kehilangan kebermaknaan yang sesuai arah fitrah anak akan timbul dampak yang membahayakan seperti: anak kehilangan motivasi, tak percaya diri, tak mengenal bakat, dan terjerumus dalam perilaku destruktif. Inilah pelanggaran halus terhadap hak anak untuk tumbuh secara fitrahnya yang bermartabat. Pendidikan yang mengabaikan hak dan fitrah anak adalah bentuk pengabaian hak asasi manusia yang sering tak disadari.
Di sinilah pentingnya memanggil kembali fitrah komunal, sebuah kesadaran bersama bahwa mendidik anak bukan hanya tugas guru dan orang tua, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh masyarakat. Seperti pepatah, “It takes a village to raise a child,” kita di Garut juga perlu orang sekampung untuk mendidik satu anak.
Semangat ini juga yang diangkat dalam peringatan Hardiknas 2025 dengan tema ‘Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua’ mencerminkan semangat kolaborasi antara pemerintah, pendidik, peserta didik, keluarga, dan masyarakat luas untuk bersama-sama menciptakan sistem pendidikan yang adil dan merata. Melalui partisipasi aktif dari semua pihak, diharapkan pendidikan di Indonesia mampu menjadi fondasi kuat bagi lahirnya generasi penerus bangsa yang unggul dan berdaya saing.
Untuk mewujudkan pendidikan bermakna yang menumbuhkan Fitrah Anak yang dapat menyelamatkan masa depan Garut, maka masyarakat Garut dan seluruh stakeholder Pendidikan mulai dari guru, kepala sekolah, komite sekolah, pegiat pendidikan, tokoh agama, dunia usaha, media lokal, hingga pemerintah daerah, perlu menyatukan langkah dalam membangun Pendidikan bermakna yang sesuai dengan fitrah anak. Kolaborasi ini bisa diwujudkan dalam banyak bentuk misalnya melalui program magang anak SMP dan SMA di UMKM lokal untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan; pelatihan rutin bagi guru tentang pendidikan berbasis karakter dan pembelajaran