Bekasi, TRIBUNTIPIKOR online _
Ketenagakerjaan,
Ada karyawan pabrik yang di-PHK karena sebelumnya melakukan aksi mogok kerja. Apakah ada pasal mengenai PHK jika mengikuti mogok kerja? Apakah perusahaan bisa langsung mem-PHK karyawan yang mogok kerja?
Bolehkah PHK karena Cacat Akibat Kecelakaan Kerja?
Di-PHK karena Kesalahan Berat, Ini Hukumnya
Menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui bahwa mogok kerja sebenarnya adalah hak dasar dari pekerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.[1] Namun, meski termasuk sebagai hak dasar, ada sejumlah ketentuan-ketentuan yang harus ditaati pekerja dalam melakukan mogok kerja.
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.
Pasal 140 UU Ketenagakerjaan:
Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
tempat mogok kerja;
alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara:
melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau
bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
Kami kurang mendapat keterangan yang detail mengenai apakah mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja ini telah memenuhi ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan atau tidak. Jika mogok kerja tersebut telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku, maka mogok kerja tersebut adalah mogok kerja yang sah. Sebaliknya, jika mogok kerja tersebut tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, maka mogok kerja tersebut tidak sah.
Lebih lanjut, Pasal 3 Kepmenaker 232/2003 juga merincikan mogok kerja tidak sah apabila dilakukan:
bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau
tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan/atau
dengan pemberitahuan kurang dari 7 hari sebelum pelaksanaan mogok kerja; dan/atau
isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.
Akibat dari mogok kerja yang tidak sah diatur dalam Pasal 6 Kepmenaker 232/2003, yang menerangkan bahwa pekerja dikualifikasikan sebagai mangkir. Atas hal ini, pengusaha melakukan pemanggilan kepada pekerja yang melakukan mogok kerja untuk kembali bekerja. Pemanggilan tersebut dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis. Jika pekerja/buruh tidak memenuhi panggilan tersebut, maka dianggap mengundurkan diri.
Dalam Perppu Cipta Kerja, apabila pekerja dianggap mangkir selama 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil pengusaha 2 kali secara patut dan tertulis, maka dapat menjadi alasan PHK.[2]
Sedangkan, jika mogok kerja yang dilakukan telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 139 dan Pasal 140 UU Ketenagakerjaan, maka mogok kerja tersebut sah. Atas mogok kerja yang telah sah tersebut, berdasarkan Pasal 144 UU Ketenagakerjaan, pengusaha dilarang:
mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada pasal yang menyatakan bahwa pengusaha memiliki hak untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) kepada pekerja yang melakukan mogok kerja. Tetapi, sepanjang penelusuran kami tidak ada pasal yang secara jelas mengatakan bahwa pengusaha tidak boleh melakukan PHK terhadap pekerja yang melakukan mogok kerja.
Akan tetapi, merujuk pada ketentuan dalam Pasal 6 Kepmenaker 232/2003, dapat kita lihat bahwa jika mogok kerja tersebut tidak sah, tanpa pengusaha perlu melakukan PHK, pekerja yang telah dipanggil sebanyak 2 kali untuk kembali bekerja tetapi tidak memenuhi panggilan tersebut, dianggap mengundurkan diri. Ini berarti bahwa pengusaha tidak secara langsung mempunyai hak untuk langsung melakukan PHK kepada pekerja yang mogok kerja tersebut.
Kemudian, jika mogok kerja tersebut sah, kita dapat merujuk pada ketentuan Pasal 144 huruf b UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa pengusaha dilarang memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa jika PHK yang dilakukan oleh pengusaha merupakan wujud dari sanksi atau tindakan balasan bagi pekerja yang melakukan mogok kerja secara sah, maka hal tersebut tidak boleh dilakukan.
Jika pengusaha melanggar Pasal 144 UU Ketenagakerjaan, pengusaha dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp100 juta.(Red)