Tribuntipikor Media – Jurnalis”
Senin, 28 April 2025 – 07:16 WIB
(Oleh: Ketua Forum Wartawan Garut (FOWAR), Ajat Sudrajat . SH)
Dalam kehidupan ini, keadilan adalah salah satu nilai utama yang diperintahkan oleh agama, khususnya dalam Al-Quran. Sayangnya, tidak semua orang menyadari bahwa ketidakadilan yang mereka lakukan hari ini, terutama terhadap keluarga dan keturunan, bukan hanya berdampak sesaat melainkan menjadi warisan luka panjang yang terus berputar dalam roda kehidupan anak cucu mereka.
Banyak orang tua merasa bahwa keputusan, sikap, atau kebijakan yang mereka ambil dalam keluarga adalah mutlak, tanpa memperhitungkan apakah itu sudah adil atau tidak. Padahal, Al-Quran dengan tegas mengingatkan bahwa setiap bentuk ketidakadilan akan berbalik menjadi bencana, baik di dunia maupun di akhirat.
Ketidakadilan: Bukan Sekadar Kesalahan Pribadi
Ketidakadilan terhadap anak-anak, baik dalam bentuk perlakuan tidak setara, pengabaian hak, atau diskriminasi berbasis gender, adalah dosa sosial yang efeknya berlapis.
Di sisi lain, anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan ketidakadilan membawa luka batin yang sering tidak disadari. Mereka belajar bahwa cinta dan hak bukan sesuatu yang diperjuangkan bersama, melainkan sesuatu yang diperebutkan atau bahkan direbut.
Akibatnya, generasi berikutnya pun akan membawa pola luka ini ke dalam hubungan mereka sendiri: pada pasangan, anak-anak, bahkan masyarakat luas. Kehancuran kecil dalam satu rumah tangga bisa menjadi percikan api yang membakar harmoni sosial dalam skala yang lebih luas.
Al-Quran Mengajarkan Tegas: Keadilan adalah Kewajiban
Dalam berbagai ayat, Allah berulang kali memerintahkan keadilan. Bahkan Allah menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan “walaupun terhadap diri sendiri, kedua orang tua, dan kaum kerabat” (QS. An-Nisa: 135). Artinya, tidak ada toleransi untuk kezaliman, bahkan di dalam lingkungan terkecil sekalipun.
Lebih dari sekadar perintah, Al-Quran memberikan peringatan keras tentang dampak ketidakadilan: di dunia, orang yang tidak adil akan menuai masalah, kebencian, dan perpecahan. Sementara di akhirat, mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan apa yang telah mereka perbuat.
Inilah mengapa ketidakadilan yang tampak sepele umpama atau misalnya memberikan warisan secara tidak adil, memperlakukan anak perempuan lebih rendah dari anak laki-laki, atau memihak salah satu anak sebenarnya adalah benih kehancuran jangka panjang.
Dampak Psikologis dan Sosial yang Tidak Terhindarkan
Ketidakadilan dalam keluarga menimbulkan efek domino:
Anak-anak yang merasa diperlakukan tidak adil cenderung tumbuh dengan rasa rendah diri, dendam, atau bahkan pembangkangan.
Rasa percaya terhadap figur otoritas dalam keluarga hancur, yang pada gilirannya merusak rasa percaya terhadap otoritas sosial dan negara.
Anak-anak ini, ketika menjadi orang tua, sering mengulangi pola ketidakadilan yang sama, menciptakan siklus tanpa akhir.
Lebih buruk lagi, keluarga yang tercerai-berai akibat ketidakadilan menjadi titik lemah dalam masyarakat. Dari satu rumah yang retak, bisa lahir generasi-generasi yang mudah marah, tidak stabil, sulit percaya, dan penuh kecurigaan terhadap sesama.
Bukankah ini cikal bakal kehancuran sosial yang lebih besar?
Belajar dari Poligami yang Tidak Adil dan Perebutan Warisan
Al-Quran memang tidak melarang poligami, tetapi dengan syarat yang sangat berat: keadilan mutlak. “Jika kamu tidak mampu berlaku adil, maka satu saja,” demikian perintahnya.
Namun, berapa banyak kita melihat praktik poligami yang sebenarnya penuh ketidakadilan? Banyak anak-anak dari pernikahan poligami yang tumbuh dengan luka, karena merasa diabaikan atau dibanding-bandingkan.
Begitu pula dalam soal warisan. Al-Quran telah membagi hak waris dengan aturan ketat. Namun banyak orang tua yang dengan berbagai alasan, entah karena tekanan budaya, favoritisme, atau sekadar ketamakan — mengubah-ubah ketentuan itu. Hak anak-anak yang seharusnya setara diperkosa oleh ego dan nafsu sesaat.
Mereka mu