Sumbawa Besar NTB, tribuntipikor.com
Sumber ” Dinda Adhiba Soraya ” Perempuan penyandang disabilitas di Indonesia masih menghadapi diskriminasi dan tantangan besar dalam mengakses hak kesehatan reproduksi. Kondisi ini menghambat mereka dalam menjalani kehidupan reproduksi yang aman dan sehat sesuai standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). WHO menyatakan bahwa kesehatan reproduksi mencakup kondisi fisik, mental, dan sosial, bukan hanya kebebasan dari penyakit atau kecacatan.
Perempuan penyandang disabilitas sering kali mengalami kesulitan memahami perkembangan tubuh mereka, khususnya pada usia remaja. Saat dewasa, mereka juga menghadapi tantangan dalam memilih pasangan dan merencanakan keluarga, termasuk keputusan terkait kehamilan dan pengasuhan anak. Situasi ini diperburuk dengan minimnya pengetahuan dan dukungan tentang kesehatan reproduksi serta seringnya terjadi praktik diskriminatif seperti pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi dan sterilisasi oleh keluarga atau tenaga kesehatan.
Berdasarkan data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pada tahun 2023 tercatat 105 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas. Kasus-kasus ini sering melibatkan pemaksaan medis tanpa persetujuan yang jelas, yang melanggar hak asasi dan integritas fisik serta mental mereka. Praktik-praktik seperti ini dianggap sebagai bentuk kontrol sosial paksa dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan peningkatan fasilitas dan layanan kesehatan yang mampu memberikan akses dan informasi kesehatan reproduksi bagi perempuan disabilitas. Hal ini juga mencakup penyediaan informasi yang mudah dipahami serta dukungan penuh atas pilihan pribadi mereka terkait kesehatan reproduksi.
(Irwanto)