Bojonegoro Jatim, tribuntipikor.com
Napak tilas dan/atau zhiaroh Ritual adalah merupakan tradisi turun temurun yang berjalan dan diyakini serta dilakukan oleh orang Jawa kuno hingga kini dengan tujuan untuk memberi penghormatan serta mengirimi do’a atau mendoakan pada para leluhur kita,
Seperti di Petilasan Eyang Prabu Angkling Dharmo yang tepatnya berada di Desa Wotanngare, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, yang mana setiap malam Jum’at Legi banyak dipadati para pengunjung dari berbagai Daerah hingga mancanegara untuk melakukan Napak tilas atau ritual dan kirim doa yang tentunya ditujukan kepada arwah beliaunya.
Mbah Dul dengan julukannya Ki Kumis Nyempres selaku juru kunci di Petilasan Eyang Prabu Angkling Dharmo kepada media tribuntipikor.com mengkisahkan, konon Prabu Angkling Dharmo merupakan salah satu tokoh legendaris dalam tradisi Jawa Dwipa yang di anggap sebagai titisan Batara Wisnu.
Salah satu keistimewaan beliau adalah kemampuannya untuk mengetahui segala bahasa binatang, beliau juga di sebut sebagai keturunan Arjuna seorang tokoh utama dalam kisah Mahabharata, “kisahnya”. Cerita Mbah Dul Kamis (23/11/23).
Lebih jelasnya, Mbah Dul juru kunci mengungkapkan bahwa salah satu kisahnya dari Prabu Angkling Dharmo bersama dengan Patihnya Batik Madrim yakni, mampu menjadikan Malowopati menjadi kerajaan besar, “Kerajaan. Tegasnya.
“Eyang Prabu Angkling Dharmo juga di kenal sebagai seorang Raja yang arif dan bijaksana, juga sangat tersohor, bahkan beliau mampu menundukkan bangsa jin,” ujarnya.
“Selai itu, Eyang Prabu Angkling Dharmo juga tersohor dengan berbagai macam benda pusaka peninggalannya, seperti : Keris Polang Geni, Panah Pasopati, dan lain sebagainya,” ulasnya.
Mbah Dul juga menambahkan, bahwa Prabu Angkling Dharmo pernah bersinggah di Bojonegoro saat mengalami masa hukuman dan kutukan menjadi burung Belibis. Salah satu petilasannya diyakini berada di Desa Wotanngare, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
“Saat itu, Prabu Angkling Dharmo dihukum oleh Dewi Uma dan Dewi Ratih, karena melanggar janji sendiri, untuk tidak menikah lagi sebagai wujud cintanya kepada Dewi Setyowati yang mati bunuh diri,” jelasnya.
“Kemudian, dianggap melanggar janji saat Dewi Uma dan Dewi Ratih menguji keteguhan janji itu dengan cara menyamar menjadi nenek-nenek dan gadis cantik menyerupai Dewi Setyowati.
“Olehnya, runtuhlah iman Sang Prabu, kemudian beliau di kutuk untuk yang kedua kalinya oleh seorang putri raksasa cantik yang juga pemakan manusia, sebagai burung Belibis.
Diperjalanan selanjutnya, sampailah beliau di Wonosari Bojonegoro, saat itu beliau memperistri Dewi Srenggono, Trusilo serta Mayangkusumo, dan kemudian mempunyai beberapa keturunan putra. pungkasnya.
Disisi lain, mbah Narto sesepuh asal Dusun Jambe, Desa Pilangsari yang pada saat itu berada diperilasan, juga menjelaskan bahwa memang benar di Petilasan Eyang Prabu Angkling Dharmo setiap malem Jum’at Legi banyak pengunjung dari berbagai daerah yang datang untuk ritual kirim doa ke Eyang dengan berbagai tujuan. “yang jelas untuk mencari ridho nya Yang Maha Kuasa ucap Mbah Narto.
“Kalau ritual kirim doa di Eyang, harus punya niat yang bersih, jangan sampek mempunyai niat yang tidak benar, sopan santun juga harus dijaga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan. Ungkap Mbah Narto sesepuh asal Dusun Jambe, Mayangrejo, Kalitidu. (King)
Reporter: Joko Pitono
Editorial: Korwil Jatim