SPJK Yang Berafiliasi Dengan Konfederasi Persatuan Buruh
Indonesia (KPBI) Menuntut Beberapa Syarat Calon
Pimpinan OJK

Jakarta, tribuntipikor.com

Seperti kita ketahui bersama bahwa saat ini telah dilakukan proses pemilihan
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, atas proses yang sedang
berlangsung tersebut Pekerja industri Jasa Keuangan sangat memiliki
kepentingan terhadap pemilihan pimpinan Otoritas tersebut. Hal ini diungkapkan Ketua Umum Serikat Pekerja
Jasa Keuangan (SPJK), Priana Rifsana bahwa SPJK yang berafiliasi dengan Konfederasi Persatuan Buruh
Indonesia (KPBI) menuntut kepada anggota dewan yang nanti akan memilih
pimpinan OJK tersebut untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut yaitu :

  1. Harus bersih dari keterlibatannya partai politik manapun, dan memiliki track record
    yang bersih dari keterlibatan tindak pidana korupsi.
  2. Sebelumnya tidak pernah menjadi pimpinan yang memiliki masalah terkait
    ketenagakerjaan.
  3. Mendukung kebijakan-kebijakan yang pro kepada pekerja, pertanian dan
    lingkungan hidup.
  4. Bersedia menjadi pimpinan otoritas yang independen dari kepentingan penguasa
    dan pengusaha manapun.
  5. Mendukung kebijakan perbaikan rasio pendapatan pekerja, dalam upaya
    memperkecil gap antara pendapatan pekerja level terendah dan tertinggi.
  6. Mendukung investasi dan bisnis di sektor agraria.
    SPJK menuntut agar OJK kedepan tidak menyerahkan permasalahan tenaga
    kerja kepada Departemen Tenaga Kerja, Senantiasa melibatkan organisasi
    pekerja sebelum mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berdampak kepada
    pekerja. Prinsip Good Corporate Governance juga ditegaskan dalam setiap
    kebijakan-kebiakan OJK, yang lebih mengikat kepada perbankan agar tidak
    memberikan pembiayaan kepada perusahaan-perusahaan yang telah :
    a) Melakukan Union busting kepada serikat pekerja dan/atau melanggar peraturan
    ketenagakerjaan, dan/atau;
    b) Melakukan pencemaran lingkungan hidup dan atau melanggar peraturan
    lingkungan hidup, dan/atau :
    c) Mengambil alih lahan petani secara paksa (land grabbing), menyebabkan konflik
    agraria dengan masyarakat, dan/atau melanggar prinsip Undang-Undang Pokok
    Agraria (UUPA).
    (Iwan/Sendi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *