Jakarta, tribuntipikor.com
Sudah sangat dirasakan penting kehadirannya. Itulah Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), meski dalam formula baru. Landasannya, pasca tiadanya GBHN akibat perubahan posisi MPR yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan tidak lagi merumuskan GBHN, maka sistem pembangunan digantikan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJPM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Yang menarik untuk dicatat lebih jauh, pengganti GBHN ini tak mengenal pertanggungjawaban Presiden. Jadi, ketika Presiden tidak maksimal — bahkan secara ekstrim — dinilai gagal dalam menjalankan RPJPM dan atau RPJPN, rakyat tidak bisa meminta pertanggungjawabannya. Haruskah rakyat dibiarkan menderita dan negara pun terus diperhadapkan krisis?
Yang menyedihkan, pembiaran kegagalan Presiden membuat rakyat terus terpasung hak-haknya selaku warga negara untuk menikmati kemajuan dan kesejahteraan. Sementara, ketika rakyat mengkritisi secara frontal, apalagi sampai unjuk rasa secara demonstratif, mereka diperhadapkan pasal pidana yang cukup mengerikan: makar. Setidaknya, demo anti rezim — meski dalam terminologi kebijakan, bukan anti personal — digiring ke pasal penggoyangan terhadap pemerintahan yang sah.
Kiranya, cara pandang dan penerapan kebijakan anti kritik itu — di satu sisi — sangat menabrak rambu-rambu konstitusi dan demokrasi. Di sisi lain, pemasungan hak-hak dasar rakyat yang berkepanjangan sejatinya hanya menciptakan bom waktu. Semakin ketat pemasungannya, semakin membesar potensi bom waktu itu. Dalam hal ini, akan terjadi beragam motif gerakan. Yaitu, massa pragmatis yang kelaparan akibat kebijakan yang tidak solutif terhadap kebutuhan sosial-ekonomi, mereka akan langsung mencari sentra-sentra kebutuhan pokok (pangan). Mereka pun berpotensi liar dalam mencari sentra-sentra produk di luar pangan itu. Dalam hal ini pemandangan penjarahan akan menjadi warna kental.
Amarah rakyat itu akan berkembang lebih jauh dalam bentuk kerusuhan sosial. Di mata massa yang beringas itu, mereka langsung berpandangan: siapapun yang dinilai menjadi penyebab keamburadulan sistem ekonomi dan lainnya akan menjadi sasaran kemarahan. Kerusuhan sosial inilah yang akhirnya berpotensi merebak ke gerakan politik ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Mencermati dinamika politik yang mengkhawatirkan itu, maka diperlukan GBHN model baru, yakni pokok-pokok haluan negara (PPHN) dan hal ini sejalan dengan perubahan sistem pemilihan langsung presiden – wakil presiden dan perubahan posisi MPR. Karenanya, rekomendasi MPR periode 2014 – 2019 pun bukan menghadirkan kembali GBHN model lama, tapi PPHN. Pedoman PPHN inilah yang perlu dirancang bagi Tim Khusus presiden – wakil presiden dalam merumuskan visi-misi programnya yang siap dituangkan menjadi RPJPM dan RPJPN.
Sekali lagi, jika RPJPM dan atau RPJPN dipertahankan sebagai rumusan visi-misi presiden pemenang kontestasi, maka satu hal yang krusial adalah masalah pertangungjawaban presiden. Dalam hal ini perlu dibangun kembali sistem review. Jika semasa GBHN ada sidang tahunan (ST) yang diselenggarakan oleh MPR, review ini tetap relevan untuk mengukur tingkal keberhasilan kinerja presiden dan atau gagalnya. Riview ini bisa dimaknai sebagai mekanisme kontrol formal dan produktif dari institusi yang berwenang. Yang jauh lebih penting adalah, ST sebagai review kinerja akan menjadi faktor pencegah potensi gerakan ekstraparlementer.
Manakala rekomendasi MPR terkait SI tidak membuahkan perbaikan bagi kinerja pemerintah, maka — atas nama kepentingan rakyat yang harus dilindungi — tidaklah berlebihan jika MPR mengeluarkan memorandum, entah berapa kali. Ketidakhormatan terhadap teguran (memorandum) itu, maka rakyat yang terakomodasi dalam MPR bisa menilai: pertama, presiden memang tidak punya kemampuan mengelola negeri ini. Kedua, Presiden memang tidak bertanggung jawab terhadap amanahnya. Hal ini yang membuat MPR punya kewajiban moral untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa (SI).
Menurut Harun Alrasyid, pertanggungjawaban Presiden tidak diatur dalam UUD1945 tetapi hanya diatur di dalam Penjelasan UUD 1945 dan TAP MPR sehingga dasar hukumnya tidak kuat. Tapi, MPR menilai SI itu sah karena bersumber dari Penjelasan UUD 1945 dan Ketetapan MPR No. III/MPR/ 1978 jo TAP MPR No. II/2000. Karena itu, SI cukup urgen untuk dihidupkan kembali sebagai sistem pengawasan dalam kondisi darurat.
Yang menjadi persoalan, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Lalu, apakah pertanggungjwabannya juga terhadap rakyat secara langsung? Dalam hal ini tentu bicara mekanisme atau prosedur yang efektif. Meski pemilihnya jutaan manusia, maka prosedur itu tentu didasarkan jumlah aktor “penyidang” yang rasional. Dalam hal ini para reviewer yang rasional adalah perwakilannya, alias MPR. Maka, MPR itulah penyelenggara SI, bukan pengadilan jalanan yang tak berprosedur.
Sekali lagi, penghidupkan kembali ST dan bahkan SI merupakan etape sistem kontrol. Pertama, agar presiden dan wakil presiden serius dalam mengemban amanah, berdedikasi untuk berkedaulatan penuh terhadap negara dan berintegritas. Hal ini haruslah dibuktikan: dilihat dan dirasakan manfaatnya bagi kepentingan rakyat dan negara. Kedua, presiden – wakil presiden tak punya opsi lain kecuali harus bertanggung jawab atas amanah yang dipanggulnya. Karena itu, ST bahkan SI hanyalah prosedur untuk mendorong pemerintah tak ingkar janji setelah disumpah sebagai presiden dan wakil presiden.
ST dan atau SI sekaligus menjadi bayang-bayang bahwa kelengeseran posisi presiden kapan saja bisa terjadi jika gagal menjalankan amanah. Sementara kita tahu, Pasal 7A dan 7B UUD 1945, akan menimbukan rasa aman bagi presiden, meski dirinya tidak confirmed dalam menjalankan amanahnya. Meski, ketentuan kedua pasal tersebut jelas, tapi mekanismenya berbelit. Yang menjadi masalah, manakala kegagalan atau ketidakamanahan itu memuncakkan amarah rakyat, maka jika tetap menggunakan kedua pasal itu, yang terjadi justru mempercepat aksi atau gerakan ekstraparlemen yang makin meluas.
Atas nama pencegahan secara sistimatis, sekaligus menghindari potensi kerugian material dan imaterial, maka Pasal 7A dan 7B UUD 1945 itu perlu dipikirkan untuk judicial review (JR). Kedua pasal ini — harus kita catat — merupakan potensi pembiaran pemerintah makin rusak, apalagi komponen anggota MPR berhasil dikooptasi. Juga, membiarkan rakyat semakin menderita.
Satu hal penting untuk dicatat dengan nurani, tuntutan politik rakyat itu harus diartikan sebagai jelmaan hak rakyat untuk mendorong presiden menjalankan amanah rakyat sebaik-baiknya, menghindari upaya sistimatis yang menggerogoti managemen pemerintahan. Karena itu, tuntutan rakyat perlu dilihat sebagai sikap responsif dan rasa memiliki negara (melu handarbeni) dan hal ini — secara dini — bukan dalam rangka mengganggu sistem presidential. Tuntutan rakyat tersebut bukanlah mengedepankan sistem parlementer. Tapi, peran dan sikap rakyat perlu dilihat sebagai proses menjaga dan menjalankan prinsip check and balance, sehingga roda pemerintahan terkontrol dan efektif. Inilah jatidiri negara yang menganut sistem kedaulatan rakyat atau bersistem demokrasi secara konsisten.
Akhir kata, sebagai kader Partai Negeri Daulat Rakyat (PANDAI) yang senantiasa mengimpikan kemajuan, kemandirian daerah yang berdaulat penuh, mendambakan roda pemerintahan yang penuh amanah dan penuh dedikasi untuk bangsa dan negeri ini. Atas nama kepentingan itu pula, maka seluruh elemen rakyat perlu bersama-sama mendorong terwujudnya kinerja terbaik pemerintah dalam mengemban amanahnya. Namun demikian, atas nama hak rakyat yang berdaulat, mereka pun berhak menuntut pertanggungjwaban atas tata-kelola pemerintahan.
Manakala rakyat kian menderita akibat kegagalannya dalam memerintah, maka tidak sepantasnya jeritan rakyat dibiarkan, apalagi diperhadapkan dengan godam pidana makar. Sebagai pihak yang sama-sama memiliki hak, maka haruslah saling menghargai haknya, bukan membiarkan salah satu pihak yang terinjak hak-hak hidupnya.
Jika kesadaran ini merasuk pada setiap diri pemimpin, bahkan pada setiap politisi yang manggung di MPR, maka mereka akan bersikap konsekuens: siap mundur karena — secara faktual — gagal menjalan kepemimpinannya. Jika tidak, apalagi mengabaikan teriakan rakyat yang menasional, sama artinya mengantarkan rakyat ke medan “neraka”. Secara tak langsung, mendorong rakyat harus memasuki arena pertempuran, yang tentu tak seimbang. Di satu sisi, rakyat tak bersenjata sebagai karakter khas gerakan moral. Di sisi lain, aparat keamanan — atas nama titah komandan — harus menggunakan kekuatan represifnya. Dirinya berpirinsip kill or to be killed. Maka, lebih membunuh daripada terbunuh.
Sebagai pemimpin negarawan, harus muncul keterpanggilan kemanusiaan, yang tentu tak tega membiarkan darah rakyat bersimbah di mana-mana. Sekali lagi, untuk menghindari gambaran tragedi kemanusiaan itu, maka format PPHN bukan hanya menjadi pedoman untuk rancang-bangun pembangunan, tapi juga harus mendudukkan PPHN yang disertai pertanggungjawaban presiden.
Jakarta, 8 Agustus 2021
Vio Sari / Humas