Pontianak, tribuntipikor.com
Gerakan Masyarakat Cinta Damai melakukan pertemuan konferensi pers Menolak paham radikal & mengutuk keras aksi-aksi Terosime yang dapat memecah belah Persatuan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya Kalimantan Barat, pada hari kamis pada tanggal 3 Maret 2020 di Caffe Soedot Jalan H.Agus Salim Pontianak.
Menurut Rival Agma Rianda selaku Koodinator kegiatan acara Akhir-akhir ini gerakan Intoleransi, Radikalisme, dan paham-paham ormas Radikal semakin massif menyebar ke dalam sendi kehidupan berbangsa kita,” masyarakat dibuat resah atas aksi-aksi yang di gencarkan oleh kelompok yang membenarkan kekerasan,” terangnya.
Lebih lanjut dirinya menjelaskan, Kini radikalisme, Intoleransi, dan Paham Ormas Radikal bagaikan momok yang menakutkan dan mengancam keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Hingga berbagai komponen masyarakat, dari tingkat pendidikan sekolah, kampus, hingga di lembaga pemerintahan menyatakan perang untuk melawan musuh bersama yaitu, radikalisme, intoleransi, dan ormas yang paham radikal melalui aksi-aksi kebangsaan,”ujarnya.
Dikatakan Nya lagi, Opini-opini yang digencarkan agar masyarakat tidak terpapar paham radikalisme dan terorisme.” Namun jika di telaah lebih dalam kepada siapa istilah radikalisme lebih tepat untuk di tunjukan?,” punkasnya.
Selain itu dirinya juga menjelaskan, Konflik global antar umat manusia yang terjadi dalam menjelang satu abad ini telah menyadarkan kita, betapa umat manusia telah hidup dalam permusuhan dan pertikaian.” Selalu saja, ada konflik antar umat manusia di seluruh penjuru dunia. Pertikaian antar agama dan paham adalah salah satu instrumen konflik global yang terjadi di muka bumi,” ujarnya.
Lanjut nya, Perang Irak-Iran, Perang Arab-Israel, Perang Teluk, Perang Afghanistan, dan terakhir Peristiwa 11 September dan Tragedi Bali, BOM di Surabaya, Samarinda, dan yang terkahir di Poso, Sulawesi Tengah, ini adalah bukti keterkaitan agama dengan konflik politik dunia global.
Sengketa perbatasan, klaim wilayah,” pelanggaran zona ekonomi eksklusif dan sebagainya, baik antara negara-negara tetangga maupun antara Indonesia dengan negara tetangga merupakan masalah yang perlu diselesaikan secara “damai”,” kutipnya melaui konferensi pers.
Menurutnya, Meskipun sengketa antara Indonesia dengan Malaysia mengenai kepemilikan pulau-pulau Sipadan dan Ligitan telah diselesaikan (walau menimbulkan banyak masalah di dalam negeri) di Mahkamah Internasional, tetapi tidak menutup kemungkinan di kemudian hari akan muncul sengketa-sengeketa perbatasan atau klaim wilayah dengan negara-negara tetangga lainnya yang dapat menjadi konflik terbuka.
Kondisi ini, menurutnya, semakin memperkuat solidaritas agama lintas teritorial negara. Umat manusia benar-benar diikat oleh keyakinan agama untuk membela saudara-saudara seagama mereka di negara lain, bukan lagi solidaritas kemanusiaan kaum tertindas.
“Melainkan sudah menjadi isu agama secara global.
Inilah yang selama ini terjadi di negara-negara Muslim (sebuah contoh kasus saja) ketika terjadi benturan dengan sesama Muslim, dan bahkan dengan dunia non-Muslim, Konflik politik berubah menjadi konflik agama oleh karena agama digunakan sebagai basis dukungan politik. Fenomena ini menunjukkan betapa tata dunia yang damai belum menjadi kesadaran hidup,” pungkasnya.
Dikatakan nya lagi, global antar umat beragama, Impian dunia yang damai seakan sirna oleh ego politik, ekonomi, dan agama umat manusia.” Di sinilah, agama kehilangan makna otentiknya sebagai petunjuk jalan menuju kedamaian,” jelasnya.
Sebab, agama sekedar memperkuat makna teologis yang ekslusif dan intoleran. Tetapi yang terjadi adalah radikalisasi umat beragama yang menjurus kepada Terorisme, bukan kulturalisasi yang inklusif dan toleran.(Masrun)