Kuningan| Tribun TIPIKOR.com
Forum Masyarakat Sipil Independen (FORMASI) menyoroti lemahnya pemahaman publik sekaligus tata kelola perizinan pemanfaatan air permukaan, mata air, dan air dalam (sumur artesis) untuk kepentingan komersial, khususnya di kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC).
FORMASI menilai, hingga kini sosialisasi terkait mekanisme perizinan pemanfaatan air belum berjalan secara utuh dan benar. Faktanya, pengajuan izin pemanfaatan air permukaan maupun air dalam tidak melalui sistem Online Single Submission (OSS), melainkan langsung diajukan ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya Air.
Untuk pengambilan air dari mata air, izin dikeluarkan oleh Kementerian PUPR melalui Direktorat Sumber Daya Air. Sementara pengambilan air tanah dalam atau sumur artesis juga diajukan ke kementerian yang sama, dengan rekomendasi teknis dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), khususnya untuk wilayah Kuningan yang masuk dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisanggarung.
Menurut Ketua FORMASI Manap Suharnap perdebatan pemanfaatan air di kawasan konservasi Gunung Ciremai harus dicermati secara komprehensif. Di satu sisi, TNGC memiliki mandat menjaga kelestarian kawasan konservasi, namun di sisi lain air merupakan kebutuhan fundamental masyarakat yang dijamin negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
FORMASI menolak anggapan bahwa ketatnya perizinan menghambat pembangunan. Ketua FORMASI, Manap Suharnap, menegaskan jika alur perizinan ditempuh sesuai aturan, maka tidak ada alasan izin menjadi sulit terbit.
“Terlalu sederhana jika menyebut izin menghambat pembangunan. Justru jika prosedur dijalankan dengan benar, izin akan terbit dan pengawasan bisa dilakukan,” tegas Manap.
FORMASI juga menyoroti pernyataan TNGC yang menyebut tidak akan menutup pemanfaatan air permukaan di kawasan konservasi demi mempertimbangkan dampak sosial ekonomi masyarakat. Menurut FORMASI, sikap tersebut pada dasarnya dapat dipahami, namun berpotensi membuka celah penyimpangan, gratifikasi, hingga praktik korupsi jika tidak disertai pengawasan ketat dan transparansi.
Manap mempertanyakan kejelasan retribusi pemanfaatan air dari sedikitnya sembilan entitas usaha besar yang disebut telah menggunakan air untuk kepentingan komersial meski perizinannya belum tuntas. Entitas tersebut antara lain kawasan wisata Arunika, Rageman, Ipukan Highland, PAM Kota Cirebon, PAM Kabupaten Cirebon, PT KPK, serta PT Banyu Putra Mahkota.
“Logikanya, air digunakan untuk kegiatan usaha dan dijual kembali kepada konsumen. Maka tidak mungkin gratis. Pertanyaannya, retribusi itu dibayarkan kepada siapa? Ke TNGC, ke pemerintah pusat, ke pemerintah daerah, atau justru tidak jelas sama sekali? Ini wajib dijelaskan ke publik,” ujarnya.
FORMASI mengungkap temuan di lapangan yang mengindikasikan adanya dugaan pembayaran retribusi kepada oknum di lingkungan TNGC oleh pengguna air permukaan dan mata air. Kondisi tersebut, jika benar, dinilai berpotensi menimbulkan kerugian negara dan kerusakan lingkungan akibat penggunaan air yang tidak terukur dan tidak terkontrol.
Lebih jauh, pembiaran terhadap penggunaan air oleh pihak-pihak yang belum mengantongi izin resmi selama bertahun-tahun dinilai menyebabkan eksploitasi berlebihan. Sistem pembayaran yang bersifat flat tanpa alat ukur seperti meteran air membuat penggunaan air tidak terbatas.
Dampaknya, debit mata air di sejumlah titik dilaporkan terus menyusut. Di sisi lain, petani justru mengalami kekurangan air untuk sawah dan pertanian mereka. FORMASI menilai kondisi ini mencerminkan tata kelola distribusi air yang tidak adil dan bertentangan dengan prinsip keadilan sosial serta keberlanjutan lingkungan.
FORMASI mendesak adanya transparansi, audit menyeluruh, serta penegakan hukum tegas agar pengelolaan air di kawasan konservasi Gunung Ciremai benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat, kelestarian lingkungan, dan keuangan negara.Berharap pemberantasan,jika ada mafia perijinan.jelasnya.
| red |





