‎Komite SMPN 3 Cibatu Nekat Jual Seragam Abaikan Larangan Keras Kepala Sekolah dan Gelar Rapat di Bale Desa‎

‎Komite SMPN 3 Cibatu Nekat Jual Seragam Abaikan Larangan Keras Kepala Sekolah dan Gelar Rapat di Bale Desa

‎Purwakarta Tribun. Tipikor

‎ Praktik yang sarat akan dugaan pungutan liar (pungli) kembali mencoreng dunia pendidikan di awal tahun ajaran baru. Komite Sekolah SMPN 3 Cibatu secara terang-terangan menjual Tiga set seragam sekolah dengan harga yang dinilai fantastis, yakni mencapai Rp 620.000 per siswa. Ironisnya, tindakan komersial ini tetap berjalan meskipun telah dilarang secara tegas oleh kepala sekolah, dan prosesnya bahkan digerakkan dari luar lingkungan sekolah, tepatnya di bale desa.

‎Langkah Komite SMPN 3 Cibatu ini sontak menimbulkan keresahan dan keluhan dari berbagai kalangan. Mereka merasa aneh dengan biaya yang sangat tinggi di tengah kebutuhan ekonomi yang tinggi dan peraturan perbup yang sekarang ini. Harga Rp 620.000 untuk beberapa setel seragam dianggap tidak masuk akal dan memberatkan, terutama bagi keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah.

‎”Kami kaget waktu rapat diberitahu harganya segitu,” ujar salah seorang wali murid yang meminta namanya tidak disebutkan demi keamanan anaknya. “Itu harga yang sangat mahal untuk seragam. Kalau beli di luar, mungkin tidak sampai setengahnya. Tapi kami mau tida mau harus beli karna kolektif, takut nanti anak kami tida seragam dengan yg lain.

‎Hal yang paling memperkeruh situasi adalah fakta bahwa pihak sekolah, melalui kepala sekolah, sebenarnya sudah memberikan larangan keras terhadap segala bentuk penjualan seragam di lingkungan sekolah. Kepala Sekolah SMPN 3 Cibatu, dalam beberapa kesempatan, telah menegaskan bahwa sekolah tidak boleh menjadi arena bisnis dan komite sekolah dilarang melakukan praktik jual beli.

‎”Kepala sekolah sudah jelas melarang. Beliau mengatakan bahwa sesuai aturan, komite dan sekolah tidak boleh menjual seragam. Fungsinya untuk patuh pada peraturan pemerintah, ” ungkap seorang sumber internal di sekolah tersebut.

‎Namun, larangan ini tampaknya tidak digubris oleh oknum-oknum di dalam komite. Alih-alih membatalkan niatnya, komite justru mencari cara lain untuk melancarkan aksinya. Mereka memindahkan lokasi rapat dan koordinasi penjualan seragam ke bale desa setempat. Langkah ini dinilai sebagai manuver untuk menghindari pengawasan langsung dari pihak sekolah dan menciptakan kesan bahwa kegiatan tersebut adalah inisiatif mandiri “di luar sekolah”, padahal jelas-jelas menyangkut siswa dan atribut SMPN 3 Cibatu.

‎Penggunaan fasilitas publik seperti bale desa untuk kegiatan yang berpotensi melanggar aturan pendidikan ini juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan akuntabilitas. “Kenapa harus di bale desa? Kenapa tidak berani rapat di sekolah jika memang niatnya baik untuk membantu? Ini seperti sengaja menjauh dari pengawasan kepala sekolah,” tambah wali murid lainnya.

‎Praktik yang dilakukan oleh Komite SMPN 3 Cibatu ini jelas bertentangan dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam aturan tersebut, ditegaskan bahwa pengadaan pakaian seragam sekolah tidak boleh dikaitkan dengan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) atau kenaikan kelas, dan sekolah dilarang membebankan orang tua untuk membeli seragam baru pada setiap kenaikan kelas atau penerimaan siswa baru.

‎Komite sekolah, yang seharusnya menjadi mitra kritis sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan, justru menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan komersial. Tindakan memaksa atau mengarahkan orang tua untuk membeli seragam di satu tempat dengan harga yang tidak wajar dapat dikategorikan sebagai pungutan liar.

‎Hingga berita ini diturunkan, pihak komite sekolah belum memberikan keterangan resmi terkait alasan penetapan harga Rp 620.000 dan pengabaian terhadap larangan kepala sekolah. Para orang tua berharap Dinas Pendidikan setempat segera turun tangan untuk menginvestigasi kasus ini secara tuntas dan memberikan sanksi tegas jika terbukti ada pelanggaran.

‎”Kami hanya ingin anak kami sekolah dengan tenang tanpa ada beban biaya yang tidak perlu. Kami mohon Dinas Pendidikan turun tangan. Jangan sampai sekolah yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu malah jadi ladang bisnis oknum tertentu,” tutup salah seorang wali murid dengan nada penuh harap
Leporter .(Arie Castello)

Pos terkait