Langkanya BBM Bersubsidi di Bojonegoro Bukan Karena Habis, Tapi Digarong Mafia Proyek

Praktisi kebijakan publik lokal: Inilah ironi tahunan negeri energi: saat negara berlimpah sumber daya, rakyatnya justru mengantre berjam-jam demi sejerigen solar.

Bojonegoro Jatim, tribuntipikor.com // Sesungguhnya, Pemerintah melalui Pertamina, BPH Migas, dan tim pendistribusian Bahan Bakar Minyak (BBM) sejauh ini, hingga November 2026 belum pernah mengeluarkan pernyataan resmi tentang pengurangan kuota BBM bersubsidi di seluruh Nusantara.

Namun, fakta klasik terus berulang: setiap menjelang akhir tahun, antrean panjang kendaraan di SPBU di Bojonegoro, Jawa Timur, menjadi pemandangan rutin, alasannya selalu sama, BBM habis.

Seperti sebelumnya terjadi di SPBU Jetak, Bojonegoro pernah langka BBM jenis solar, antrian pun panjang kali lebar dan kali ini disusul lagi SPBU timurnya Polsek Balen, Bojonegoro, sore tadi Minggu 09/112025 juga terjadi kelangkaan BBM jenis solar.

Akan tetapi dengan dalih mengantisipasi potensi kericuhan akibat kelangkaan, aparat keamanan kembali dikerahkan menjaga setiap SPBU.

Namun bagi sebagian praktisi kebijakan publik lokal, situasi ini bukan sekadar kebetulan, mereka menuding, ini adalah “permainan lama” yang terus dibiarkan hidup, narasi klasik yang menutupi fakta sesungguhnya: distribusi BBM bersubsidi sengaja diperlambat.

Jika ditelaah dengan logika sederhana, setiap akhir tahun merupakan masa puncak pengerjaan proyek infrastruktur di berbagai daerah.

Proyek-proyek tersebut membutuhkan alat berat, yang berarti serapan BBM solar meningkat tajam di titik ini, muncul ironi.

Ketika masyarakat kecil kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi, justru pada saat yang sama terjadi peningkatan konsumsi BBM untuk proyek-proyek besar.

Praktiknya, beberapa SPBU yang “kehabisan” BBM dan dijaga ketat oleh aparat, justru merupakan SPBU yang dikenal menjadi sumber “sumur minyak” bagi para pelaku mafia solar,

Solar bersubsidi yang seharusnya menjadi hak masyarakat, justru disedot, digarong diam-diam untuk memenuhi kebutuhan alat berat proyek konstruksi, tentu dengan harga non-subsidi yang jauh lebih menguntungkan bagi oknum tertentu.

Menurut salah satu sumber internal yang memahami regulasi distribusi BBM, sebut saja Mister S, fenomena ini “normal” terjadi disetiap tahun.

Ia mengungkapkan bahwa menjelang tutup tahun, Pertamina melakukan pembatasan distribusi dengan dalih evaluasi dan penataan kuota untuk tahun berikutnya.

Namun, di balik alasan resmi itu, ada tekanan lain, para pemilik SPBU enggan mengambil kuota tambahan di penghujung tahun karena khawatir stok yang tidak habis akan dikenakan tarif BBM industri yang jauh lebih mahal.

“Kalau stok tidak habis di akhir tahun, pemilik SPBU bisa dibebani harga industri. Jadi mereka lebih baik menekan pesanan, agar stok habis dan aman,” jelas Mister S.

Alhasil, demi menghindari beban finansial, para pengelola SPBU menahan distribusi, dampaknya, masyarakat kembali menjadi korban.

BBM bersubsidi yang semestinya untuk rakyat kecil, justru dikorbankan oleh permainan kuota dan manipulasi mekanisme pasar yang sudah berlangsung bertahun-tahun. (King/Tim)

Pos terkait