Jakarta|Tribun TIPIKOR.com
Pandangan Bambang Rukminto yang menyebut Komite Reformasi Polri tidak independen hanya karena sebagian besar anggotanya dianggap berasal dari unsur kepolisian dan pemerintah merupakan bentuk penilaian yang terlalu sempit dan kurang memahami esensi dari reformasi kelembagaan negara.
Dalam konteks reformasi institusi sebesar Polri, yang memiliki struktur, budaya, dan sistem kerja yang sangat kompleks, keterlibatan unsur internal justru menjadi kebutuhan mendasar. Tanpa pemahaman menyeluruh dari dalam institusi, reformasi hanya akan berhenti pada tataran simbolik dan tidak menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya.
Argumen bahwa dominasi unsur kepolisian membuat komite kehilangan independensi juga tidak sepenuhnya tepat. Independensi bukanlah soal siapa yang duduk di dalam komite, melainkan bagaimana mekanisme kerja, tata kelola, dan akuntabilitas publik dijalankan.
Kehadiran figur-figur seperti Mahfud MD dan Jimly Asshiddiqie, dua tokoh dengan reputasi intelektual dan integritas tinggi, menjadi penyeimbang yang kuat untuk memastikan setiap proses reformasi berjalan dengan transparan dan objektif.
Keduanya tidak dikenal sebagai pihak yang mudah diintervensi, sehingga klaim bahwa mereka hanyalah pelengkap dari dominasi unsur pemerintah adalah bentuk penyederhanaan.
Selain itu, menuntut agar Komite Reformasi Polri didominasi oleh masyarakat sipil tanpa mempertimbangkan kebutuhan teknokratis dan kerahasiaan operasional berpotensi kontraproduktif. Reformasi yang efektif memerlukan sinergi antara pemahaman teknis aparatur dengan visi normatif masyarakat sipil.
Dalam hal ini, komposisi yang melibatkan perwakilan internal dan eksternal sekaligus bukan bentuk dominasi, melainkan keseimbangan yang rasional agar arah reformasi tetap realistis dan dapat diimplementasikan.
Perlu disadari pula bahwa reformasi Polri adalah upaya memperbaiki tata kelola agar Polri semakin profesional, humanis, dan akuntabel. Maka, reformasi harus dimotori oleh orang-orang yang benar-benar memahami sistem, bukan sekadar oleh pihak luar yang memiliki idealisme tinggi namun minim pemahaman struktural.
Kritik terhadap dominasi unsur kepolisian menjadi tidak relevan jika komite tersebut dibangun atas prinsip transparansi, keterukuran, dan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Dengan demikian, alih-alih dipersoalkan dari sisi komposisi, yang lebih penting adalah memastikan agar Komite Reformasi Polri bekerja berdasarkan indikator kinerja yang jelas, berbasis data, serta terbuka terhadap masukan publik.
Independensi sejati bukan ditentukan oleh latar belakang keanggotaan, melainkan oleh integritas proses dan komitmen moral terhadap perubahan itu sendiri. Pandangan yang menilai komite tidak independen hanya karena adanya keterlibatan internal Polri, sesungguhnya gagal membaca bahwa reformasi yang efektif justru menuntut kolaborasi, bukan isolasi.
Jakarta, 9 November 2025
R. HAIDAR ALWI
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB







