Bandung Barat – Proyek pengaspalan jalan di Desa Kayuambon, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, ditemukan sejumlah kejanggalan pada papan proyek yang tidak memuat informasi lengkap. Proyek yang dibiayai dari Dana Desa Tahun 2025 dengan total anggaran Rp230.006.100 ini diduga kurang transparan, terutama karena nama perusahaan kontraktor pemenang lelang tidak dicantumkan dalam papan proyek, padahal nilai proyek melebihi Rp200 juta. Jum’at (10/10/2025).
Selain itu, papan proyek juga tidak mencantumkan jadwal pelaksanaan, baik tanggal mulai maupun tanggal selesai. Informasi mengenai ketebalan atau tinggi lapisan aspal yang seharusnya menjadi bagian dari spesifikasi teknis pekerjaan juga tidak tersedia. Kondisi ini berpotensi memperlemah fungsi pengawasan publik terhadap kualitas dan progres pekerjaan.
Pantauan langsung di lapangan (9/10/25) menunjukkan, pekerjaan pengaspalan tengah berlangsung, berlokasi di Kampung Sukaampat RT 03 dan 04 RW 01. Namun, pada papan proyek tertulis Pelaksana adalah Tim Pelaksana Kegiatan Desa Kayuambon, tanpa mencantumkan nama perusahaan kontraktor secara jelas.
Berdasarkan pada Pasal 20 Ayat (1) Peraturan Bupati Bandung Barat Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa, lelang dilaksanakan untuk pengadaan di atas Rp200 juta. Dengan demikian, papan informasi proyek seharusnya mencantumkan nama perusahaan kontraktor pemenang lelang sebagai bentuk keterbukaan informasi publik dan pertanggungjawaban terhadap mutu pekerjaan, bukan TPK Desa.
Dalam metode lelang, perusahaan penyedialah yang menandatangani kontrak dan melaksanakan pekerjaan, sedangkan TPK hanya bertugas dalam proses pengadaan dan pengawasan pelaksanaan, bukan sebagai pelaksana fisik pekerjaan.
Permintaan KTP Wartawan Oleh Pihak Kontraktor Pelaksana
Kiki, yang disebut sebagai pihak kontraktor pelaksana proyek, saat tim media mencoba melakukan konfirmasi langsung di lokasi, meminta media memperlihatkan identitas berlapis. Awalnya meminta Kartu Pers, setelah ditunjukan, lalu kembali meminta KTP pribadi yang merupakan tindakan tidak lazim dalam konteks wawancara jurnalistik dan menyentuh ranah privasi.
Namun, setelah Kartu Pers ditunjukkan, Kiki menolak diwawancara dengan alasan sedang sibuk. Selain itu, Kiki juga sempat memperlihatkan identitasnya dari sebuah organisasi bernama Komite Investigasi Neg*** yang tidak memiliki relevansi dengan pelaksanaan proyek desa.
Sikap ini menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi dan akuntabilitas pelaksana proyek, mengingat posisi Kiki di lapangan adalah sebagai pihak kontraktor, bukan perwakilan organisasi.
Konfirmasi Pemerintah Desa Belum Direspons
Media juga telah mengajukan konfirmasi kepada Kepala Desa Kayuambon untuk meminta penjelasan lebih lanjut terkait pelaksanaan proyek. Namun, hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan dari pihak pemerintah desa.
PPHI Jabar Soroti Permintaan KTP Wartawan dan Minimnya Transparansi Proyek Desa
Ketua Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) Jawa Barat, M. Said Karim, S.H., mengkritik keras tindakan pihak kontraktor yang meminta KTP wartawan. Menurutnya, tindakan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum pers yang berlaku dan diduga dapat dikategorikan sebagai bentuk penghambatan kerja jurnalistik.
“Wartawan yang sedang menjalankan tugas peliputan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Pasal 4 ayat (3) ditegaskan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi. Wartawan tidak berkewajiban memberikan data kependudukan pribadi seperti KTP hanya untuk melakukan konfirmasi,” ujar M. Said Karim.
Ia menjelaskan, dalam Pasal 8 UU Pers disebutkan bahwa wartawan mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya. Sementara Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi pelaksanaan tugas jurnalistik dapat dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
“Permintaan KTP oleh pihak yang sedang dikonfirmasi, apalagi jika disertai sikap yang tidak kooperatif, diduga dapat dikategorikan sebagai tindakan menghambat kerja jurnalistik. Ini bukan sekadar persoalan etika, tetapi menyangkut hak hukum pers yang dilindungi undang-undang,” tegasnya.
Lebih jauh, M. Said Karim juga mengkritik tindakan pihak kontraktor yang menunjukkan identitas organisasi yang tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan proyek desa. Menurutnya, hal tersebut berpotensi menimbulkan kesan tidak profesional dan dapat membingungkan publik mengenai siapa sebenarnya pihak pelaksana proyek.
Selain menyoroti sikap kontraktor terhadap wartawan, M. Said Karim juga menilai bahwa minimnya informasi dasar pada papan proyek, terutama mengenai identitas kontraktor, jadwal pelaksanaan, dan spesifikasi teknis, mencerminkan lemahnya transparansi dalam pelaksanaan proyek desa. Menurutnya, papan proyek merupakan instrumen utama untuk memastikan akuntabilitas penggunaan dana publik.
“Dengan anggaran lebih dari Rp200 juta, publik berhak tahu siapa kontraktornya, berapa volume pekerjaan, dan berapa lama masa pelaksanaan. Ini penting untuk mencegah penyimpangan dan memastikan kualitas pekerjaan,” pungkasnya.
Peran Media dan Transparansi Publik
Sebagai pilar keempat demokrasi, media memiliki peran penting dalam menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap penggunaan anggaran publik. Keterbukaan informasi menjadi kewajiban penyelenggara proyek untuk memastikan akuntabilitas dan mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasan pembangunan desa.
(Aby)





