Catatan tentang Tata Ruang dan Ketahanan Pangan Kuningan

Kuningan|Tribun TIPIKOR.com

Secara umum, luas sawah dan kebun palawija di Kabupaten Kuningan terus mengalami penyusutan. Pertambahan jumlah penduduk yang diikuti maraknya pembangunan perumahan baik secara swadaya oleh warga maupun oleh pengembang telah mengubah wajah wilayah perdesaan. Desa-desa yang sebelumnya terpisah oleh hamparan sawah dan hutan kini nyaris menyatu oleh bangunan permanen.

Mengendalikan tata ruang memang bukan perkara mudah, terlebih ketika lahan yang dibangun merupakan tanah milik pribadi. Hak kepemilikan memberi kebebasan kepada pemilik tanah untuk membangun rumah atau menjual lahannya. Namun, ketika hampir seluruh tanah di suatu wilayah beralih fungsi menjadi perumahan, ruang-ruang produktif pertanian pun menghilang padahal selama ini menjadi penopang utama ekonomi masyarakat.

Pengalaman pembangunan jalan baru yang menghubungkan Cipari Cigugur menuju Palutungan menunjukkan bahwa pembebasan lahan secara kolektif sejatinya dapat dilakukan. Demi kepentingan pembangunan jalan, lahan-lahan pertanian dikorbankan atas nama kemajuan. Padahal, akses menuju Palutungan sejatinya telah tersedia secara alami, baik dari arah Gunung Keling maupun dari jalur Cipari dekat koperasi, yang sesungguhnya cukup dilebarkan dan diperbaiki.

Kebijakan membuka jalan baru demi kepentingan pariwisata tampak lebih berpihak pada kelancaran akses pelaku usaha wisata. Dari perspektif jangka panjang, akan jauh lebih bermanfaat apabila pembangunan akses tersebut dibarengi penguatan sistem irigasi. Air yang melimpah dari kawasan Palutungan seharusnya dialirkan untuk menyuburkan lahan-lahan pertanian di sekitarnya, menciptakan sawah baru, dan memperkuat ketahanan pangan masyarakat.

Dengan irigasi yang memadai, produktivitas petani akan meningkat. Basis ekonomi masyarakat tetap terjaga tidak hanya bergantung pada palawija, tetapi juga padi. Hamparan sawah yang hijau saat tanam dan menguning saat panen akan menegaskan kembali identitas Kuningan sebagai daerah agraris, penghasil padi dan sayur-mayur penopang kebutuhan kota-kota di Jawa Barat.

Sayangnya, orientasi pembangunan Kabupaten Kuningan tampak terlalu bertumpu pada sektor pariwisata, seolah melupakan bahwa daya tarik utama wilayah Palutungan, Kramatmulya, dan sekitarnya justru terletak pada kesuburan tanah dan melimpahnya sumber air. Kontur tanah yang menurun secara alami sejatinya memudahkan aktivitas pertanian tanpa memerlukan sistem irigasi ekstrem seperti di daerah lain.

Ironisnya, di tengah kesuburan tersebut, pembangunan wisata kerap dilakukan secara eksploitatif. Bangunan-bangunan wisata berdiri dengan penguasaan lahan berlebihan, bahkan memasuki kawasan sensitif yang seharusnya diperuntukkan bagi resapan air, penanaman pohon, dan aktivitas pertanian. Fenomena ini terlihat di kawasan atas Palutungan hingga wilayah Puncak, Cileuleuy, dan sekitarnya, yang berpotensi membahayakan wilayah di bawahnya termasuk Kuningan kota apabila terjadi longsor.

Berdasarkan penelusuran lapangan dengan berjalan kaki dari Puncak Sawahbera, Cisantana, hingga Leuweung Leutik, aliran air yang semestinya mengalir lancar justru terhambat proyek-proyek bangunan di kawasan atas. Padahal, wilayah sekitar Puncak hingga perbatasan Sagarahyang semestinya steril dari bangunan permanen seperti hotel dan vila.

Di sisi lain, saluran irigasi yang mengairi sawah-sawah di Cisantana, Dano, Pasir, hingga Leuweung Leutik justru terbengkalai. Banyak petani tidak lagi memperoleh pasokan air yang cukup karena sungai dan saluran irigasi tidak terawat, menyempit, dan dipenuhi rumput liar. Kondisi ini memperlihatkan ketimpangan nyata antara pembangunan pariwisata dan pertanian yang pada akhirnya memicu ketimpangan sosial.

Petani kehilangan lahan dan harapan. Generasi penerus enggan turun ke sawah karena pertanian tidak lagi menjanjikan. Kurangnya air dan rendahnya produktivitas membuat keringat dan tenaga yang dicurahkan tak sebanding dengan hasil. Tanah dan air, yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan, justru berubah menjadi sumber kemiskinan yang sistemik.

Oleh: Iwa Gunawan
Tokoh Pemuda Marhaen Jawa Barat

Pos terkait