Pragmatisme Politik Dinilai Picu Krisis Keterwakilan Rakyat

Kuningan | Tribun TIPIKOR.com

Praktik pragmatisme politik dinilai menjadi salah satu faktor utama yang memicu krisis keterwakilan rakyat dalam sistem demokrasi Indonesia. Politik yang seharusnya menjadi sarana penyaluran aspirasi masyarakat justru kerap tereduksi menjadi ajang transaksi kepentingan, terutama dalam setiap kontestasi pemilihan umum.

Pada prinsipnya, politik lahir sebagai upaya menata kehidupan bersama agar tercipta keteraturan, keadilan, dan mekanisme penyaluran aspirasi publik. Melalui partai politik, masyarakat diharapkan dapat menyalurkan kehendak dan kepentingannya dengan memilih wakil rakyat yang memiliki integritas, kapasitas, serta kepekaan terhadap persoalan publik.

Namun dalam praktiknya, proses demokrasi sering kali diwarnai oleh perilaku politik yang menyimpang dari nilai-nilai ideal tersebut. Setiap pemilu, masyarakat menaruh harapan besar terhadap lahirnya wakil rakyat yang mampu memperjuangkan kepentingan publik. Sayangnya, sebagian aktor politik memilih jalan pintas dengan mengedepankan politik uang dan transaksi kekuasaan.

Praktik politik uang tersebut secara perlahan mengubah orientasi pilihan politik masyarakat. Hak pilih tidak lagi digunakan berdasarkan pertimbangan visi, gagasan, dan integritas calon, melainkan karena imbalan materi yang diterima. Kondisi ini dinilai menjadi akar persoalan krisis keterwakilan rakyat, karena wakil yang terpilih lebih ditentukan oleh kekuatan modal daripada kualitas pribadi.

Akibatnya, terbentuk lingkaran persoalan yang berkelanjutan. Wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme transaksional cenderung mengulang pola serupa saat telah menduduki jabatan. Praktik korupsi pun berpotensi tumbuh di berbagai tingkatan lembaga legislatif, baik di daerah maupun di tingkat nasional.

Lebih lanjut, makna keterwakilan rakyat dinilai semakin tergerus. Wakil rakyat kerap tidak lagi berfungsi sebagai representasi masyarakat di daerah pemilihannya, melainkan lebih mewakili kepentingan pihak-pihak yang mendukung secara finansial proses politiknya. Bahkan, tidak jarang calon legislatif dapat terpilih di daerah yang minim keterikatan sosial dan emosional.

Dalam situasi tersebut, kebijakan publik berisiko tidak berpihak pada kebutuhan masyarakat. Kekuasaan yang dimiliki wakil rakyat justru digunakan untuk memfasilitasi berbagai kepentingan ekonomi, perizinan, dan bisnis yang sebelumnya menjadi bagian dari biaya politik saat pencalonan.

Kondisi ini berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga politik. Ketika masyarakat menghadapi persoalan nyata, kehadiran wakil rakyat sering kali dinilai belum optimal. Orientasi politik dianggap lebih mengarah pada kepentingan pemodal dibandingkan kepentingan publik secara luas.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, penguatan pendidikan politik dinilai menjadi langkah penting. Partai politik diharapkan dapat berfungsi sebagai ruang pembelajaran demokrasi yang mencerdaskan masyarakat, bukan sekadar sebagai mesin elektoral. Pendidikan politik yang sehat diharapkan mampu menekan praktik politik uang serta meningkatkan kualitas demokrasi.

Selain itu, upaya mengembalikan politik pada nilai pengabdian dinilai mendesak. Wakil rakyat diharapkan benar-benar menjadi penyambung aspirasi masyarakat dan bekerja untuk kepentingan publik. Prinsip demokrasi yang menempatkan suara rakyat sebagai landasan utama dinilai harus kembali ditegakkan.

Ditulis Oleh
Iwa Gunawan Tokoh Pemuda Marhaen Jawa Barat

Pos terkait