Kuningan | Tribun TIPIKOR.com
Forum Masyarakat Sipil Independen (FORMASI) kembali menyoroti aktivitas pembangunan kawasan wisata di wilayah konservasi Cigugur, lereng Gunung Ciremai. Sorotan tersebut didasarkan pada kajian mendalam terhadap regulasi tata ruang, mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, hingga Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kuningan, yang diperkuat dengan data serta temuan investigasi lapangan.
Pengurus FORMASI, Rokhim Wahyono, menegaskan bahwa kritik yang disampaikan merupakan bagian dari peran masyarakat sipil dalam menjaga keberlanjutan kawasan konservasi dan kelestarian sumber daya air yang menopang kehidupan masyarakat Kuningan.
“Posisi kami jelas, bukan untuk menciptakan konflik. Ini adalah bentuk tanggung jawab moral agar kawasan konservasi Gunung Ciremai tetap dikelola sesuai hukum dan daya dukung lingkungan,” ujar Rokhim, Sabtu (13/12/2025).
FORMASI memandang klarifikasi dari pengelola usaha wisata sebagai hal yang wajar dalam ruang demokrasi. Namun demikian, Rokhim menekankan bahwa fakta lapangan harus menjadi rujukan utama, terutama apabila terdapat indikasi pemanfaatan ruang yang bertentangan dengan ketentuan tata ruang daerah.
Ia menyinggung secara tegas ketentuan Pasal 63 Perda RTRW Kabupaten Kuningan, yang mengatur batas pemanfaatan lahan di kawasan konservasi air. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa luas bangunan maksimal hanya 10 persen, sarana dan prasarana 5–10 persen, jalan lingkungan tidak diperkenankan dibeton atau diaspal, serta kewajiban menyediakan minimal 80 persen ruang terbuka hijau dan area parkir non-beton.
“Melalui citra satelit dan kondisi aktual kawasan Arunika, masyarakat bisa menilai secara objektif apakah pemanfaatan ruang masih sesuai dengan amanat RTRW atau justru sudah melampaui batas,” jelasnya.
Selain persoalan tata ruang, FORMASI juga menyoroti aspek legalitas perizinan bangunan. Menurut Rokhim, perlu ada keterbukaan informasi terkait Izin Mendirikan Bangunan (IMB), terutama terhadap bangunan baru yang muncul belakangan, termasuk bangunan Joglo Arunika yang mengusung konsep arsitektur Jepang.
“Harus ada kejelasan ke publik, apakah bangunan tambahan tersebut menggunakan izin lama atau telah mengantongi izin baru. Tanpa transparansi, potensi pelanggaran administratif sangat terbuka,” tegasnya.
FORMASI menilai polemik narasi di ruang publik tidak akan menyentuh akar persoalan. Yang dibutuhkan adalah penerapan aturan tata ruang secara konsisten dan adil untuk melindungi kawasan konservasi dari kerusakan lingkungan serta ancaman bencana ekologis.
Lebih jauh, FORMASI mengaitkan lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang di Cigugur dengan belum dilaksanakannya amanat Pasal 57 RTRW, yakni penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan (RDTRK) Cigugur.
“Ketiadaan RDTRK membuat pengendalian lahan menjadi lemah dan rawan penyimpangan. Padahal dokumen tersebut merupakan instrumen penting pencegahan pelanggaran sejak awal,” ungkap Rokhim.
Atas kondisi tersebut, FORMASI mendorong Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan untuk segera menyusun dan menetapkan RDTRK Cigugur agar pembangunan dan perlindungan lingkungan dapat berjalan beriringan.
FORMASI juga mendesak aparat penegak hukum serta penegak Perda untuk bertindak tegas terhadap setiap indikasi pelanggaran yang ditemukan.
“Jika penegakan hukum tidak konsisten, maka RTRW hanya akan menjadi dokumen formal tanpa daya ikat,” tandasnya.
Di akhir pernyataan, Rokhim mengingatkan DPRD Kabupaten Kuningan agar menjalankan fungsi pengawasan secara optimal.
“Kawasan konservasi adalah aset publik jangka panjang. DPRD harus memastikan Perda RTRW tidak dikompromikan demi kepentingan sesaat,” pungkasnya.
| red |





