Sambas Kalbar tribunTipikor.com
Polemik berkepanjangan yang diungkap ke publik oleh Wakil Gubernur Krisantus Kurniawan, tidak dapat diabaikan sebagai dampak dari pelaksanaan UU Nomor. 10/2016 yang merupakan perubahan kedua atas UU Nomor. 1/2015 yang mencakup perubahan dan penyesuaian terkait penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah termasuk penundaan karena Pandemi Covid-19 melalui UU Nomor. 6/2020 dan pelaksanaan UU Nomor. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah.
Ketentuan Parliamentary Threschold 20% keanggotaan di DPRD dalam mengusung Kepala Daerah baik untuk Kepala Pemerintahan Provinsi, Kabupaten/Kota, telah menyebabkan Partai Politik yang mempunyai keanggotaan di DPRD harus melakukan kerjasama untuk mengusung Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Sebuah Partai Politik yang mempunyai prosentase keanggotaan yang besar di DPRD namun tidak memenuhi ambang batas PT 20% tentu tidak dapat mengusung sendiri Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan mengharuskan untuk berkoalisi dengan Partai lain yang mempunyai keanggotaan di DPRD.
Disampaing jumlah keanggotaan di DPRD, dalam pengusungan Calon Kepala Daerah faktor lain yang tidak kalah penting adalah mempunyai cukup modal untuk mendukung keterpilihan yang tentu akan sangat besar dimulai dari proses pencalonan hingga keterpilihan.
Penetapan pasangan Ria Norsan dan Krisantus Kurniawan sebagai Paslon yang diusung oleh PDI-P, Hanura dan PPP tentu sudah mempertimbangkan kedua hal tersebut diatas, dan ketika melakukan koalisi ketiga Partai tersebut berada dalam kedudukan yang sama namun faktual dukungan prosentase PDI-P yang paling tinggi yaitu 13 Kursi sementara Partai Hanura 4 Kursi dan Partai Persatuan Pembangunan 2 Kursi.
Suatu hal yang tidak dapat kita bantah atau abaikan adalah terjadi polarisasi ditingkat pemilih bahwa ketika keterpilihan ada yang memilih Paslon dengan pertimbangan memilih Calon Kepala Daerah dan pada sisi yang lain ada yang memilih Calon Kepala Daerah.
Permasalahan kemudian adalah usungan Partai Politik tersebut dalam Pilkada untuk Kepala Daerah adalah Ria Norsan yang bukan kader dari Partai Pengusung tersebut, sementara Krisantus Kurniawan yang merupakan kader PDI-P hanya sebagai Wakil Kepala Daerah.
Dan ketika pasca terpilih dengan penetapan KPU sebagai pemenang Pilkada serta pelantikan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka tibalah pada pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang berdasarkan UU Nomor. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, dimana hampir semua kewenangan berada pada Kepala Daerah sementara Wakil Kepala Daerah tidak lebih sebagai pembantu dengan konsentrasi bidang pengawasan serta melaksanakan tugas-tugas yang didelegasikan.
Sehingga tak jarang dan sering terjadi di banyak Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) Wakil Kepala Daerah merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Pembuat UU (Pemerintah dan DPR) mungkin tidak pernah membayangkan akan terjadi permasalahan seperti ini, kecuali dengan pertimbangan bahwa jika Kepala Daerah berhalangan tetap maka tidak perlu dilakukan Pilkada lagi karena cukup menetapkan Wakil Kepala Daerah sebagai Kepala Daerah, sementara untuk jabatan Wakil Kepala Daerah sebagai pengganti Wakil Kepala Daerah yang sudah ditetapkan sebagai Kepala Daerah cukup dengan mekanisme di DPRD.
Dengan pertimbangan sebagaimana tersebut diatas, sangat penting untuk menjaga keharmonisan antara Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah dengan membuat suatu kesepakatan dan dituangkan dalam suatu Peraturan Kepala Daerah (Peraturan Gubernur/Peraturan Bupati/Peraturan Walikota) tentang Pendelegasian Kewenangan antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sehingga jelas “siapa berbuat apa dan siapa bertanggung jawab terhadap apa”.
Dan tentu polemik yang terjadi seperti diungkap oleh Krisantus Kurniawan Wakil Gubernur Kalimantan Barat, tidak akan terjadi.
Kalaulah tidak diterbitkan kebijakan seperti itu, dimana setiap permasalahan sebelum sampai ke Gubernur/Bupati/Walikota harus melewati Wakil nya terlebih dahulu, maka sistem yang dibangun bukannya memperpendek mata rantai birokrasi malahan memperpanjang birokrasi.
Dan itu tidak baik dalam menciptakan pelayanan yang cepat dan akuntabel.
(Sur)





