Cirebon|Tribun TIPIKOR.com
Sultan Sepuh Jaenudin II Arianatareja, KGSS Pangeran Heru Rusyamsi Arianatareja, S.Psi., M.H.selaku Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon dan Ketua Dewan Adat Nasional Republik Indonesia (DAN-RI) mengeluarkan pernyataan keras terkait persoalan agraria yang tak kunjung selesai dan terus melahirkan konflik berkepanjangan di berbagai daerah.
Dalam keterangannya, Sultan Sepuh menyoroti praktik selama ini, di mana perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan tanah ulayat hanya mengurus izin ke ATR/BPN, sementara pemilik ulayat yakni kesultanan, kerajaan, dan masyarakat adat tidak pernah dimintai persetujuan sebagaimana mestinya.Kamis ( 27/11/2025).
Seluruh bangsa tahu bahwa BPN bukan pemilik tanah. Mereka hanya administratur yang mencatat, bukan pihak yang memiliki.tegas Sultan Sepuh.
Menurut beliau, konstitusi menyatakan negara hanya ‘menguasai tanah, bukan memilikisehingga tanah ulayat tetap menjadi milik masyarakat adat dan kesultanan yang telah ada jauh sebelum Republik Indonesia berdiri.
Negara baru lahir tahun 1945. Sedangkan tanah ulayat sudah ribuan tahun dimiliki oleh negara awal: kesultanan dan kerajaan. Maka ketika perusahaan ingin memakai tanah adat, izinnya harus dari pemilik hipotiknya: kesultanan.ujar Sultan Sepuh.
Sultan Sepuh juga menyoroti banyaknya kasus di lapangan, di mana kepala desa, camat, atau oknum tertentu bertindak seolah memiliki tanah tersebut, memberikan rekomendasi atau izin penggunaan lahan tanpa memeriksa siapa pemilik ulayat yang sah.
Ketika ditanya, jawabannya selalu ‘ini tanah negara’. Negara yang mana? Negara baru atau negara awal yang wilayahnya dijadikan Indonesia? Apakah ada Undang-undang yang membubarkan keberadaan kerajaan kesultanan ? Ini logika terbalik yang tidak boleh dibiarkan. katanya.
Beliau menilai praktik ini bukan hanya kesalahan administrasi, tetapi juga bentuk pengingkaran terhadap pemilik ulayat, bahkan dapat dikategorikan sebagai tindakan dzolim karena mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan tanah ulayat yang diakui dan diatur oleh :
- UUD 1945 Pasal 18B ayat 2,
- UUPA no. 5 tahun 1960 pasal 3,
- PP. 224 Tahun 1961 pasal 4 ayat 1,
- PP No. 18 tahun 2021 pasal 98 ayat 2,
- Permen ATR/BPN RI No. 14 tahun 2024.
Sultan Sepuh juga menyinggung contoh kasus yang kini menjadi perhatian masyarakat adat, yakni dugaan pengabaian hak ulayat dalam proses penerbitan Sertifikat Hak Pakai (SHP) no. 3, 5, 8, 11 & 13 untuk perusahaan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.
Menurut pihak kesultanan, terdapat dugaan bahwa penerbitan SHP dilakukan tanpa izin tertulis dari pemilik ulayat Kesultanan Cirebon yang seharusnya merupakan pihak paling berhak memberikan persetujuan sebelum proses administrasi negara diproses oleh ATR/BPN.
Lebih jauh, dari hasil pemantauan masyarakat adat, muncul dugaan bahwa terdapat area tertentu yang dieksploitasi tanpa izin lengkap, dan bahkan muncul kekhawatiran bahwa material yang diambil bukan hanya batu kapur, tetapi juga mengandung unsur logam lain, termasuk dugaan adanya endapan emas.
Kami tidak menuduh. Tapi masyarakat adat menduga ada eksploitasi yang tidak sesuai izin. Maka kami meminta negara melakukan audit, investigasi, dan klarifikasi terbuka. ungkap Sultan Sepuh.
Sultan menegaskan bahwa pihak kesultanan tidak menolak pembangunan, tetapi menolak praktik pengabaian hak ulayat, penghilangan jejak sejarah, dan peminggiran pemilik tanah asli.
Sultan Sepuh menutup dengan seruan kuat:
Sudah saatnya negara mengoreksi sistem agraria. Sudah saatnya ATR/BPN sadar bahwa mereka bukan pemilik tanah. Perusahaan wajib meminta izin pada pemilik ulayat terlebih dahulu baru mengurus administrasinya ke negara.
Beliau mengingatkan bahwa tanah ulayat bukan tanah yatim yang bisa ditempati siapa saja tanpa izin.
Tanah ulayat punya pemilik. Punya marwah. Punya sejarah. Dan punya harga diri. Hormati pemiliknya. Hormati aturan konstitusi. Inilah keadilan yang sebenarnya.
( red )





