DPRD Blora soroti pengelolaan MBG menyusul kasus keracunan siswa SMP N 1 Blora, Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Subroto.

Blora – Jawa Tengah, tribuntipikor.com //

Anggota DPRD Kabupaten Blora Subroto menyoroti penyajian dan pengelolaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) setelah 204 siswa SMP Negeri 1 Blora mengalami gejala keracunan usai menyantap menu MBG.

“Dari sisi tampilan, menunya cukup menarik, dari sisi estetika maupun penyajian. Namun, ada persoalan mendasar yang perlu diperiksa secara menyeluruh, terutama terkait proses penerimaan dan pengelolaan dana oleh penyedia makanan,” ujarnya menanggapi kasus dugaan keracunan ratusan siswa SMP Negeri 1 Blora di Blora,
Permasalahan yang dilihat, kata dia, seperti soal kepala ikan teri, seharusnya bisa dibuang, kemudian porsi telur memprihatinkan, hingga porsi yang tidak sesuai.
Hal demikian, kata dia, merupakan hal-hal kecil, tetapi berdampak.

“Lalu, apakah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang bertanggung jawab terhadap itu semua. Apakah tidak ada sanksi? Ini menyangkut nyawa orang dan masa depan anak-anak,” ujarnya.
Ia menyinggung penyedia yang banyak disebut masyarakat, seperti SPPG Karangjati 1 Blora, dan mempertanyakan apakah penyedia tersebut tidak pernah menerima komplain sebelumnya.

Berdasarkan data yang dihimpun, sejumlah siswa mengalami gejala mual, muntah, hingga pusing. Sebanyak 67 siswa menjalani rawat jalan di Rumah Sakit Dinas Kesehatan Tentara (RS DKT) Blora, 14 menjalani rawat inap, dua dirawat di RSUD dr. R. Soetijono Blora, serta sekitar 20 siswa masih dalam penanganan di RS DKT.
“Terkonfirmasi awal sebanyak 198 siswa mengalami gejala, namun seiring adanya pendataan bertambah enam orang, sehingga total 204 siswa,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia menegaskan perlunya pemeriksaan terhadap mekanisme pembayaran program MBG, mengingat skema pembayaran dilakukan setelah makanan didistribusikan.
Menurutnya, penjelasan resmi mengenai tanggal, proses pencairan dana, serta mekanisme pertanggungjawaban penyedia harus segera disampaikan.

“Akuntan itu parafnya, ahli gizi juga parafnya. Setelah semuanya sepakat baru dibayar. Misalnya, kantor di Jakarta, tambang di Kalimantan saja bisa korupsi, apalagi ini satu rumah keluarga (SPPG). Ada potensi kongkalikong dalam satu rumah,” ujarnya.
Subroto juga mempertanyakan isu adanya dugaan permainan harga menu. Misal, harga seharusnya Rp110 ribu bisa berubah menjadi Rp5 ribu, Rp6 ribu, atau Rp7 ribu, tetapi tetap dibayar penuh.

“Tentunya perlu penyelidikan apakah benar ada potensi permainan antara admin SPPG dengan akunting dan pengelola dapur,” imbuhnya.
DPRD, lanjut dia, prihatin karena kasus ini menyangkut keselamatan dan masa depan anak-anak. Pihaknya mendorong evaluasi anggaran yang berpotensi merugikan atau membahayakan kesehatan siswa, termasuk aturan pembayaran jika suatu SPPG terbukti bermasalah.
“Jika penyedia mendapat sanksi, apakah pemerintah tetap akan membayar tagihan? Itu yang belum jelas,” ujarnya. #(@_heim)

Pos terkait