Kota Bima NTB
tribun tipikor .Com —
Bau busuk proyek reklamasi Pantai Amahami di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), kembali menyeruak. Forum Komunikasi Mahasiswa Hukum Bima (FKMHB) menuding proyek yang diklaim sebagai pembangunan kawasan wisata itu justru sarat pelanggaran hukum dan cacat administrasi. Mereka menyebut, reklamasi ini hanyalah kedok pembangunan yang menabrak aturan dan merusak ruang pesisir.
Ketua Umum FKMHB Universitas Mataram, Ifan Afrizal, menilai Pemerintah Kota Bima sengaja memanipulasi narasi pembangunan demi kepentingan tertentu. Ia menuding, proyek reklamasi tersebut dijalankan tanpa dasar hukum yang sah dan tanpa izin resmi dari Pemerintah Provinsi NTB, sebagaimana diatur dalam undang-undang.
“Reklamasi Pantai Amahami itu cacat hukum. Semua prosedur izin dilanggar. Kejati NTB tahu tapi diam, seolah takut menindak. Kami menduga kuat, Wali Kota Bima adalah aktor utamanya,” tegas Ifan, Senin (10/11/2025).
Menurutnya, sikap diam aparat penegak hukum menjadi cermin lemahnya komitmen terhadap supremasi hukum. Hingga kini, tidak ada satu pun langkah konkret dari Kejati NTB untuk menelusuri dugaan pelanggaran yang nyata di lapangan.
“Kejati NTB mestinya sudah memanggil dan memeriksa Wali Kota Bima. Bukti sudah jelas, tapi tidak ada nyali untuk menegakkan hukum,” ujarnya geram.
FKMHB menilai proyek reklamasi Amahami menabrak Perda Nomor 3 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi NTB 2009–2029, yang menegaskan Teluk Bima sebagai kawasan strategis untuk perikanan, pertanian, dan pariwisata berkelanjutan. Namun, Pemkot Bima justru mengubah fungsi ruang pesisir tanpa koordinasi dan tanpa izin dari pemerintah provinsi.
Lebih fatal lagi, berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014, kewenangan pengelolaan laut hingga 12 mil adalah milik pemerintah provinsi, bukan pemerintah kota. Artinya, reklamasi yang dilakukan Pemkot Bima otomatis ilegal.
“Pemkot Bima tidak punya dasar hukum sedikit pun. Ini pelanggaran terbuka terhadap undang-undang,” kata Ifan menegaskan.
Selain itu, proyek tersebut juga dinilai melanggar UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang mewajibkan setiap aktivitas reklamasi memiliki izin lokasi sesuai RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil).
Hasil investigasi lapangan FKMHB memperlihatkan aktivitas reklamasi di Amahami telah berlangsung masif — mulai dari pembangunan masjid terapung, jalan, hingga timbunan pasir dan batu di sepanjang bibir pantai — semuanya dilakukan tanpa Amdal, tanpa izin lokasi, dan tanpa transparansi publik.
“Ironis, pejabat daerah justru membela proyek ini seperti tanpa dosa. Tak ada satu dokumen pun yang terbuka untuk publik. Yang ada hanya pembenaran, sementara laut dan ekosistemnya rusak,” beber Ifan.
FKMHB menilai praktik reklamasi Amahami bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi sudah masuk kategori kejahatan struktural — melibatkan pejabat publik dan aparatur yang secara sadar membiarkan pelanggaran terjadi.
“Ini bukan sekadar salah urus, tapi konspirasi jahat yang terstruktur. Kejati NTB tidak boleh pura-pura tuli. Berdasarkan kajian kami, Wali Kota Bima patut ditetapkan sebagai tersangka,” seru Ifan lantang.
Ia mendesak Kejati NTB untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu dan tidak tunduk pada tekanan politik.
“Jangan biarkan mafia tanah dan laut merajalela di Bima. Bukti sudah ada — tinggal keberanian aparat untuk menindak,” tegasnya.
Di akhir pernyataannya, Ifan menegaskan pentingnya keberpihakan hukum pada rakyat pesisir dan kelestarian lingkungan hidup.
“Kalau hukum hanya jadi tameng pejabat, maka kejahatan atas laut akan terus berulang. Ekosistem hancur, rakyat pesisir jadi korban,” pungkasnya.
(Irwanto)





