Perampokan Berkedok Investasi Kesejahteraan Di Tana Bulaeng

Sumbawa Besar NTB
tribun Tipikor.Com —

Sumbawa adalah tanah tua yang bergelimang kekayaan alam—tanah yang berurat nadi emas, berurat nadi tambang, hutan, dan laut. Setiap jengkalnya menyimpan sumber daya yang seolah tak pernah habis dieksploitasi. Ia ibarat surga yang menampung segala harapan manusia, tapi juga neraka yang perlahan menelan penduduknya sendiri.

Kandungan mineral dan kekayaan alam Sumbawa terbuka tahap demi tahap, seperti luka yang terus dikupas untuk diambil isinya. Setiap kali bumi ini disayat, datanglah mereka—para pemodal besar, investor asing, dan penguasa lokal yang bersekutu demi kepentingan yang mereka sebut “pembangunan”. Padahal, apa yang sedang terjadi sejatinya bukan pembangunan, melainkan perampokan yang dilegalkan.

Daeng Tonil Seran ketua LSM Sumbawa Menggugat kepada Awak media tribun tipikor.Com jumat 25/10/2025; memaparkan Pulau Sumbawa, dengan luas yang hampir tiga kali Pulau Lombok, justru hanya dihuni sekitar 1,3 juta jiwa.

terlalu sedikit untuk menjaga kekayaan yang begitu besar. Bandingkan dengan Lombok yang padat berpenduduk 3,2 juta jiwa, di lahan yang jauh lebih sempit. Maka tidak heran bila Sumbawa menjadi tanah yang “mengundang”. Ia seperti perempuan cantik yang ditaksir banyak orang, dipuja karena keindahannya, tapi kemudian dijarah karena kelemahannya.” Paparnya

Kini, para pendatang datang silih berganti. Ada yang mencari hidup, ada pula yang mencari kesempatan. Lahan pertanian yang subur, padang penggembalaan luas, dan hutan yang masih hijau menjadi magnet bagi mereka. Dan kini sektor tambang menjadi primadona baru, Tapi di balik gegap gempita “investasi”, terselip kisah getir rakyat kecil yang perlahan tersingkir dari tanah sendiri.

“Bulaeng”—dalam bahasa Samawa berarti Emas. Kata ini kini menjadi simbol ironi. Dulu, emas melambangkan kemakmuran. Kini, ia menjelma menjadi sumber konflik, kerakusan, dan air mata. Tanah Bulaeng tak lagi suci; ia telah digali, diporak-porandakan, dan ditukar dengan janji-janji kesejahteraan yang tak kunjung datang.” Urai Daeng .

Negeri yang katanya kaya ini justru menyimpan luka dalam. Gizi buruk masih menghantui anak-anak di pelosok. Pendidikan tertinggal, lapangan kerja terbatas, dan kesenjangan sosial kian melebar. Program “Bumi Sejuta Sapi” hanya menjadi slogan tanpa makna—jalan di tempat, seperti banyak program lain yang berhenti di papan baliho dan pidato pejabat.

Di satu sisi, investasi terus digembar-gemborkan sebagai jalan menuju kesejahteraan. Di sisi lain, masyarakat hanya menjadi penonton di panggung tanah kelahirannya sendiri. Rakyat menuntut hak untuk menjadi tuan rumah di tanah leluhur, namun suara mereka sering ditenggelamkan oleh deru alat berat dan gemerincing uang proyek.”Bebernya

Sementara itu, para “pembonceng”mereka yang pandai bermain di air keruh sibuk menyalakan bara konflik horizontal. Mereka mengadu masyarakat, menebar kebencian antarwilayah, hanya demi menjaga jalannya proyek raksasa yang menguntungkan segelintir orang.

Lebih lanjut di sampaikan
Maka, pertanyaan besar yang menggantung di langit Sumbawa hari ini adalah: Apakah investasi pertambangan di Sumbawa benar-benar akan mensejahterakan rakyatnya, atau justru menjadi bentuk perampokan baru yang berseragam rapi dan berbicara atas nama kemajuan?

Tanah Bulaeng kini menangis dalam diam. Di bawah gemerlap cahaya lampu tambang, di bawah bisingnya truk pengangkut batu dan logam mulia, ada jeritan sunyi yang tak terdengar jeritan rakyat yang kehilangan tanah, laut, dan masa depannya.” Pungkas Daeng Tonil dengan tegas .
( Irwanto )

Pos terkait