Hariyono: Bojonegoro tidak butuh jargon baru. Yang dibutuhkan adalah nyali untuk membenahi kenyataan.
Bojonegoro Jatim, tribuntipikor.com //
Di tengah gegap gempitanya baliho dan narasi pencitraan, Kabupaten Bojonegoro hari ini menyimpan paradoks yang menggelisahkan. Bagaimana tidak.!, sebuah Slogan “Bahagia, Makmur, dan Membanggakan” yang seharusnya menjadi kompas pembangunan Bojonegoro, tampaknya justru berubah menjadi belenggu moral bagi pemerintahan yang baru.
Menurut pandangan Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Suara Malowopati Haryono selaku (Pegiat Desa & Pengamat Kebijakan Publik) dirinya mengungkapkan bahwa, Slogan ini kini terlihat menjadi beban simbolik bagi Wahono, sebagai pemimpin yang diharapkan membawa pembaruan.
Sebab, realitas sosial dan ekonomi masyarakat Bojonegoro menunjukkan jarak yang jauh antara kata dan kinerja, antara visi dan pelaksanaan.
Seperti, Serapan Anggaran: Indikator yang Membisu
Hingga akhir September 2025, serapan APBD Bojonegoro baru mencapai sekitar 37% atau kurang lebih Rp 2,9 triliun dari total anggaran Rp 7,8 triliun.
Artinya, dua pertiga dari kekuatan fiskal daerah masih mengendap di kas, sementara rakyat di lapangan menghadapi persoalan mendasar: infrastruktur yang tak selesai, pelayanan publik yang stagnan, dan ekonomi rakyat yang tak bergerak.
Disisi lain, Ketua DPRD bahkan telah mewanti-wanti potensi SILPA mencapai Rp 3 triliun jika pemerintah tak segera mempercepat belanja produktif.
Namun ironisnya, di tengah lambannya serapan, agenda seremonial dan publikasi pemerintah justru berjalan mulus.
Pertanyaannya sederhana:
Apakah kesejahteraan bisa diraih dengan angka penyerapan yang membeku? Ataukah slogan “makmur” hanya berarti makmur dalam laporan kertas?
Program Gayatri: Dari Gagasan Menjadi Gugatan
Program GAYATRI (Gerakan Ayam Petelur Mandiri) sejatinya lahir dari gagasan mulia — memberdayakan masyarakat desa, menciptakan ekonomi rumah tangga yang produktif. Namun hingga pertengahan September 2025, hanya 115 dari 419 desa yang telah melaksanakan program ini.
Dengan anggaran Rp 45,2 miliar untuk 2.631 keluarga penerima manfaat (KPM), tampaknya capaian di lapangan masih jauh dari target.
Produksi rata-rata 44 butir telur per KPM per hari tentu patut diapresiasi, tetapi terlalu kecil jika dibandingkan dengan skala anggaran dan ekspektasi pemberdayaan ekonomi masyarakat Bojonegoro.
Lebih dari itu, muncul persoalan mendasar: transparansi dan keberlanjutan. Siapa penerima manfaat yang sesungguhnya? Apakah data KPM terbuka untuk publik? Bagaimana mekanisme kontrol terhadap penggunaan dana desa yang dialokasikan? Dan siapa yang akan menanggung risiko ketika ayam mati, kandang rusak, atau harga telur anjlok?
Jika semua ini tidak dijawab, maka GAYATRI hanya akan menjadi simbol proyek kebanggaan, bukan gerakan kemandirian.
Kritik dan Kesadaran Publik
Maka dari itu: SUARA MALOWOPATI Bojonegoro menilai, rendahnya serapan anggaran dan lemahnya implementasi program strategis mencerminkan krisis manajemen dan lemahnya keberanian politik. Pemerintahan yang tersandera oleh slogan tidak akan pernah menembus substansi perubahan.
Olehnya, Kami memandang perlu adanya:
- Audit publik terhadap OPD dengan serapan rendah, disertai sanksi administratif bagi yang gagal merealisasikan program.
- Transparansi data realisasi anggaran dan program desa, termasuk publikasi nama-nama penerima manfaat GAYATRI di portal resmi.
- Evaluasi kebijakan berbasis hasil, bukan kegiatan. Tolok ukur “Bahagia Makmur Membanggakan” harus diubah menjadi indikator konkret: penurunan kemiskinan, peningkatan pendapatan masyarakat, dan pemerataan pembangunan.
- Keterlibatan masyarakat sipil dan lembaga independen dalam pengawasan APBD dan program prioritas daerah.
Dari Slogan ke Tindakan
Kebahagiaan tidak bisa diproduksi dari papan nama dan baliho. Kemakmuran tidak tumbuh dari laporan serapan anggaran yang lamban. Dan kebanggaan tidak lahir dari program yang separuh jalan.
Wahono — dan siapapun yang memimpin Bojonegoro — harus berani membebaskan diri dari jeratan slogan, dan kembali pada substansi pemerintahan: melayani rakyat dengan transparansi, kecepatan, dan keadilan. (King)
Editorial: Korwil Jatim