Mataram NTB
tribun Tipikor .com –
Pembangunan vila sebagai hunian maupun usaha sewa wisata semakin marak di Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun, tidak semua pemilik memahami bahwa membangun vila tidak bisa sembarangan dan harus mengikuti aturan tata ruang serta perizinan berusaha yang berlaku.
Hal ini ditegaskan oleh Agil Harnowo Putra, Fungsional Penata Ruang Bidang Tata Ruang PUPR Provinsi NTB, saat ditemui media di ruang kerjanya, Senin (29/09). Menurutnya, setiap bangunan wajib melalui prosedur izin sesuai zonasi dan tata ruang daerah agar tidak berstatus ilegal.
“Langkah awal yang perlu diperhatikan adalah arahan zonasi. Jangan sampai vila berdiri di atas lahan produktif. Pemilik juga harus mengajukan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) serta memastikan status tanah memiliki HGB atau SHM,” jelas Agil.
Selain itu, pemilik vila diwajibkan mengurus Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF), baik untuk kepentingan pribadi maupun usaha. Ia juga mengingatkan adanya dokumen lingkungan seperti UKL/UPL atau AMDAL yang diatur dalam PP 28/2025.
Agil menegaskan bahwa sanksi bagi bangunan tanpa PBG cukup berat, mulai dari peringatan tertulis, penghentian pembangunan, pencabutan izin, hingga pembongkaran. Bahkan, ada potensi pidana penjara atau denda sesuai ketentuan UU 28/2002 yang telah diubah Perppu Cipta Kerja.
“Bagi pemilik yang sudah terlanjur membangun tanpa izin, segera urus legalitasnya. Jangan sampai berujung pada sanksi administratif maupun pidana,” tambahnya.
Terkait adanya aduan masyarakat mengenai PT Bukit Samudra Sumbawa (BSS) di wilayah Tua Nanga–Kertasari, Kabupaten Sumbawa Barat, Agil menyebut terdapat potensi pelanggaran perizinan berusaha. Ia menyatakan akan berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten untuk melakukan investigasi.
“Pemerintah daerah punya kewenangan penuh melakukan penyelidikan. Kami siap berkoordinasi agar semua kegiatan pembangunan berjalan sesuai aturan,” pungkasnya.”
( Irwanto )