Ketika Langit Menangis dan Rumah Roboh: Potret Pilu Ibu Entin di Pelosok Garut Selatan yang Luput dari PerhatianAvatar photo

Garut : Tribuntipikor.com

“Di sudut selatan Kabupaten Garut, tepatnya di Kampung Kaum Kidul, Desa Pameungpeuk, sebuah tragedi senyap menyentak nurani warga setempat. Senin petang, 28 Juli 2025, hujan deras yang mengguyur selama hampir dua hari berakhir dengan ambruknya rumah milik Ibu Entin Supartini (50), seorang janda yang selama ini hidup dalam kesunyian kemiskinan.

Waktu menunjukkan pukul 18.30 WIB ketika atap bagian belakang rumahnya, yang sudah lapuk dan nyaris tak layak huni, runtuh begitu saja. Dapur dan kamar mandi hancur. Dinding-dinding anyaman bilik tak mampu lagi menopang beban air hujan yang meresap terus-menerus. Tidak ada korban jiwa, tetapi luka psikologis dan beban emosional jelas membekas mendalam.

Di rumah yang tinggal menyisakan depan dan atapnya sebagian bocor itu, Ibu Entin tinggal bersama dua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah, seorang menantu, serta seorang bayi mungil yang baru berusia 10 hari. Total, enam orang hidup dalam satu atap yang kini sudah tak lagi bisa disebut tempat tinggal.

“Kami Tak Tahu Harus Tidur di Mana”

Ketika ditemui keesokan harinya, mata Ibu Entin sembab. Ia tak banyak bicara. Dengan suara lirih, ia hanya berkata, “Alhamdulillah anak-anak selamat. Tapi kami tak tahu harus tidur di mana malam ini.”

Tetangganya, Dede Rustandi, menjadi salah satu orang pertama yang melihat langsung kondisi rumah setelah runtuh. Ia mengaku, kondisi bangunan sudah sangat memprihatinkan sejak lama. Namun keterbatasan ekonomi membuat keluarga itu tidak sanggup memperbaiki apa pun.

“Kalau hujan deras datang, beliau selalu gelisah. Takut ambruk. Dan akhirnya benar-benar kejadian,” tutur Dede. Rabu, (30/07/2025).

Dede menyampaikan harapan besar warga kepada pihak pemerintah desa, kecamatan, bahkan kabupaten untuk segera memberikan perhatian serius. Ia juga menyebut bahwa saat ini warga sekitar secara sukarela bergotong-royong membantu mengevakuasi barang-barang yang tersisa dan menyiapkan tempat tinggal darurat dari terpal seadanya.

Potret Buram Kemiskinan Struktural

Kejadian ini bukan sekadar tragedi akibat cuaca ekstrem. Ia mencerminkan wajah buram kemiskinan struktural yang masih menghantui wilayah-wilayah pinggiran Garut.

Seperti banyak janda dan keluarga miskin lainnya, Ibu Entin terjebak dalam lingkaran ketidakberdayaan tak hanya karena faktor ekonomi, tetapi juga karena ketiadaan intervensi sistemik.

Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu) seperti milik Ibu Entin seharusnya sudah menjadi perhatian utama program penanggulangan kemiskinan di tingkat desa dan kabupaten. Namun kenyataannya, banyak rumah serupa yang belum tersentuh program bantuan apa pun. Bahkan untuk sekadar didata pun belum tentu.

Padahal, keberadaan bayi yang masih sangat rentan serta anak-anak usia sekolah dalam rumah tangga Ibu Entin seharusnya menjadi alasan cukup kuat untuk prioritas bantuan cepat.

Harapan Terakhir: Pemerintah dan Dermawan

Kini, satu-satunya harapan datang dari tangan-tangan ringan yang bersedia membantu. Masyarakat Kaum Kidul menyerukan bantuan dari siapa saja yang masih punya rasa peduli. Pemerintah Desa Pameungpeuk diharapkan segera berkoordinasi dengan dinas terkait, seperti Dinas Perumahan dan Permukiman, BPBD, atau program bantuan sosial lainnya.

“Kami ingin rumah itu bisa dibangun ulang. Tak perlu mewah. Asal bisa melindungi mereka dari hujan dan panas, cukup,” kata Dede dengan nada lirih.

Pemerintah Kabupaten Garut sendiri, melalui program Rutilahu dan Dana Desa, sejatinya memiliki anggaran yang dapat dialokasikan untuk kasus-kasus darurat seperti ini. Namun proses birokrasi dan lambatnya asesmen sering membuat bantuan datang ketika segalanya sudah terlambat.

Menolak Lupa, Menolak Diam

Tragedi yang menimpa keluarga Ibu Entin harusnya menjadi alarm kemanusiaan. Ini bukan sekadar berita duka harian yang dilupakan keesokan harinya. Ini adalah panggilan nurani bagi siapa pun yang masih percaya bahwa negara dan masyarakat punya tanggung ja

Pos terkait