Rendahnya Jumlah Pekerja Formal Kota Bandung

Oleh Prana Rifsana

Tribun Tipikor

Pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi No.168/PU-XXI/2023 tanggal 31 Oktober 2024 yang menyatakan bahwa pembentuk undang-undang, dalam hal ini adalah DPR, segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU 6/2023, dapat menjadi sebuah kebangkitan kelas pekerja.

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, saat ini terlihat dukunganya terhadap buruh ketika hadir langsung di acara peringatan Hari Buruh, 1 Mei 2025 di Monas. Prabowo merupakan presiden kedua yang hadir di acara Hari Buruh setelah sebelumnya dilakukan oleh Presiden Soekarno. Bahkan ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan menunjukkan keberpihakan tersebut, yaitu dengan pembentukan Satgas PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh.

Kewajiban DPR membuat Undang-undang ketenakerjaan baru dan keberpihakan Presiden itu terjadi ditengah-tengah meningkatnya angka pengangguran di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pengangguran tahun 2025 meningkat menjadi 7,28 juta orang, dari sebelumnya di tahun 2024 angka pengangguran adalah sebesar 7,2 juta orang, naik sebesar 83 ribu orang.

Namun di Kota Bandung, BPS mencatat angka pengangguran justru terjadi penurunan, data Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kota Bandung tahun 2021 dari 11,46% konsisten terjadi penurunan, tahun 2022 9,5%, tahun 2023 8,83% dan tahun 2024 7,4%, sedangkan di tahun 2025 ini Pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Tenaga Kerja menargetkan tingkat pengangguran terbuka dapat mencapai 6,4% – 6,5%.

Menjadi tanda tanya besar atas data tingkat pengangguran terbuka di Kota Bandung tersebut jika dibandingkan dengan realisasi adanya penutupan pabrik-pabrik atau perusahaan di Kota Bandung yang berdampak terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Data yang berhasil diperoleh tercatat 11 perusahaan lebih yang telah melakukan PHK selama tahun 2021, dengan jumlah buruh yang terdampak sebanyak 2000 orang lebih. Mengapa banyak yang di PHK namun tingkat pengangguran terbuka BPS mencatat terjadi penurunan?

Jika dilakukan analisasi lebih jauh Tingkat Pengangguran Terbuka menurut BPS adalah persentase penduduk usia kerja yang sedang aktif mencari pekerjaan terhadap total angkatan kerja. Artinya orang yang tidak bekerja dan tidak lagi mencari kerja tidak dihitung sebagai pengangguran. Dan pekerja sektor informal seperti ojek online, reseller dan pekerja lepas dihitung sebagai bekerja.

Memang peralihan pekerjaan dari sektor formal menjadi sektor informal juga menjadi fenomena saat ini, hal ini juga terjadi di Kota Bandung, ketika dunia usaha belum mampu menyerap tenaga kerja, sehingga banyak para pengangguran lama atau yang baru terkena dampak PHK mencari kerja dengan Jualan online (reseller/dropship), Ojek online, kurir, atau kerja serabutan, serta Freelancer atau content creator. Ini membuat angka pengangguran tampak turun, walaupun kualitas pekerjaan bisa lebih rendah (underemployment).

Pada tahun 2021 hingga 2022, proporsi pekerja sektor formal di Kota Bandung terjadi penurunan dari 57,8 % (2021) menjadi sekitar 57 %, dari sebelumnya hampir 67 % (2019). Banyak pekerja yang terdampak PHK selama pandemi di Kota Bandung pindah ke sektor informal (UMKM, ojek online, dsb). Media Kompas (Mei 2024) menyebutkan digitalisasi, PHK manufaktur, dan regulasi ketenagakerjaan mendorong kenaikan proporsi pekerja informal. Padahal kita ketahui bahwa Sektor informal umumnya memiliki produktivitas rendah, upah minim, dan tanpa jaminan sosial.

Rendahnya kualitas kerja di sektor informal, seperti produktivitas, upah yang rendah dan tanpa adanya jaminan sosial juga membuat organisasi-organisasi serikat buruh berupaya memasukkan aturan-aturan baru yang melindungi para pekerja informal untuk dimasukkan ke dalam draft Undang undang Ketenagakerjaan yang baru untuk disandingkan dengan draft undang-undang dari DPR. Namun jika Indonesia meng-klaim menjadi bagian dari negara maju yang juga tergabung dalam negara-negara G20, kontribusi pekerja formal tetap harus memiliki porsi yang lebih besar daripada pekerja informal.

Komposisi ideal bagi kota yang maju antara pekerja formal dan pekerja informal itu umumnya adalah kisaran 70–80% keatas untuk pekerja formal, dan dibawah 20–30 % untuk pekerja informal. Karena pekerjaan formal memiliki upah yang relatif stabil, memiliki jaminan sosial, kontrak kerja yang jelas, mendapatkan pensiun serta insentif pajak. Sedangkan pekerjaan informal itu memang pekerjaannya cukup fleksibel tapi tanpa perlindungan, tidak stabil, dan cenderung underpaid.

Jika di dalam negeri, beberapa kota yang komposisi pekerja formal dan informalnya sudah ideal contohnya adalah Kota Surabaya, kota ini memiliki komposisi pekerja formalnya 70–75 %, hal ini didukung kuat dari Industri kreatif & digital, PNS, manufaktur, dan BUMD. Kota Surabaya juga memiliki regulasi yang memfasilitasi UMKM untuk naik kelas ke formal, lewat koperasi dan sistem OSS-RBA. Selain Kota Surabaya ada juga Kota DKI Jakarta dengan komposisi pekerja formalnya mencapai 75–80 %. Sebagai pusat ekonomi dan administratif, DKI menarik pekerjaan formal dari seluruh sektor, dari keuangan, jasa profesional, teknologi, dan pemerintahan.

Untuk di luar negeri, kota yang memiliki komposisi pekerja yang ideal salah satunya adalah Singapura yang memiliki pekerja formal > 90 %, karena Singapura memiliki Regulasi ketenagakerjaan yang ketat, Pajak progresif dan universal healthcare, serta semua pekerja terdaftar di CPF (semacam BPJS). Lalu Kota Seoul, Korea Selatan, yang memiliki pekerja formal 85–90 %, kota ini memiliki tingkat perlindungan tenaga kerja tinggi. Berikutnya adalah Kota Amsterdam, Belanda, yang memiliki pekerja informal < 15 %, walaupun mereka pekerja informal yang umumnya adalah ekspatriat freelance atau migran, tetapi para pekerja informal di Amsterdam tetap bisa mengakses jaminan sosial.

Bagaimana dengan Kota Bandung? Situasi di Kota Bandung saat ini proporsi pekerjaan formal masih dikisaran 56–58 %, masih jauh dari komposisi ideal kota maju. Hal ini memerlukan beberapa strategi diantaranya adalah pemberian Insentif untuk UMKM dan mengarahkan agar bisa beranjak ke pekerjaan formal. Diperlukan peningkatan kepastian hukum ketenagakerjaan dan Literasi jaminan sosial serta insentif perpajakan.

Pemerintah Kota Bandung di bawah kepemimpinan Walikota Muhammad Farhan memang sudah memasukkan sejumlah strategi penting yang sejalan dengan pendekatan komposisi pekerja formal dan informal yang ideal. Seperti Digitalisasi dan kemudahan perizinan UMKM dengan insentif fiskal agar mereka bisa naik kelas, hal ini dijelaskan pada acara Festival Kuliner & Industri (April 2025). Lalu Pemkot juga sudah meluncurkan program padat karya dan pelatihan oleh Disnaker untuk menekan angka pengangguran dan meningkatkan kemampuan pekerja informal.

Dunia usaha-pun sudah diajak kolaborasi dalam mendukung semua strategi tersebut, Wakil Walikota H. Erwin pada Juni 2025 lalu menyampaikan bahwa Pemkot Bandung sudah menggandeng HIPMI (Himpunan Pengusaha Muslim Indonesia) Kota Bandung untuk mempermudah akses perizinan usaha, melakukan bimbingan usaha dan inkubasi bisnis di 30 kecamatan, serta program penempatan kerja ke luar negeri seperti ke Jepang pada tahun 2026 nanti.

Namun untuk mendorong komposisi pekerja formal menjadi diatas 70% di Kota Bandung, Pemerintah Kota Bandung perlu melengkapi Zona ekonomi formal terstruktur, agar bisa menampung lebih banyak usaha formal, dapat menyerap tenaga kerja formal dan mengurangi ketergantungan terhadap sektor informal. Pemkot Bandung juga harus mendorong jaminan sosial inklusif untuk pekerja informal, artinya perlindungan sosial bisa diakses oleh semua pekerja informal, yaitu berupa BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, Asuransi mikro berbasis komunitas, Tabungan hari tua, Skema subsidi iuran dari pemerintah dan menggunakan platform digital sebagai kanal masuk jaminan sosial.

Lalu Pemkot Kota Bandung juga harus mendorong Digitalisasi job-matching untuk mempermudah mempertemukan antara pekerjaan formal yang tersedia dengan kualifikasi pekerja informal yang ada untuk dialihkan menjadi pekerja formal, dengan data ketenagakerjaan yang real-time dan mudah diakses oleh semua pekerja informal.

Proses yang sudah baik ini idealnya dapat turut dimonitoring oleh masyarakat, dengan melibatkan Masyarakat secara luas untuk mengeliminasi budaya ‘Asal Bapak Senang’ sehingga angka-angka pelaporan yang disampaikan pada laporan-laporan resmi baik di Pemkot, Pemprov maupun Pemerintah Pusat dapat dipertanggung jawabkan dan sesuai dengan fakta dan realita yang ada di Masyarakat, sehingga fungsi kontrol harus diberdayakan secara ekstrim, tidak cukup mengandalkan para anggota dewan saja, ingat bahwa tindak pidana korupsi dapat berawal dari manipulasi data dan laporan yang ada agar terlihat cantik di muka namun buruk di dalam.


Penulis adalah Ketua Partai Buruh EXCO Kota Bandung, Ketua Federasi Serikat Pekerja Jasa dan Keuangan (FSPJK), dan Pendiri Serikat Pekerja Bank Permata (SPBP), Indonesian Banking Union (IBU) dan Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan (JARKOM SP Perbankan).

Pos terkait