Kuningan| Tribun TIPIKOR.com
Gagalnya Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Mekar Jaya dalam memenuhi kewajiban kepada para anggotanya masih menyisakan luka mendalam bagi masyarakat Kabupaten Kuningan. Ratusan warga yang menjadi korban terdampak kehilangan akses terhadap dana simpanan mereka. Selama bertahun-tahun, koperasi yang tampak sehat bugar dari luar itu berubah menjadi runtuh seketika dan menghilangkan kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan lokal.
Namun yang lebih mengkhawatirkan, pola keruntuhan yang sama kini mulai muncul dan terlihat di tubuh BPR Kuningan, lembaga keuangan milik Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan.
Dalam tahun politik 2024, ketika perhatian publik tersita pada agenda Pilkada dan pengalihan fokus birokrasi, BPR Kuningan justru mengeluarkan sinyal darurat sistemik dalam dunia keuangan lokal.
Kami dari LSM Frontal memberikan catatan kritis terhadap tata kelola PERUMDA, khususnya di BPR Kuningan atau Bank Kuningan nama yang sekarang kita kenal.
Dalam Laporan Publikasi Keuangan per 31 Desember 2024, yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik DRA. Yati Ruhiyati, CA., CPA, tercatat Loan to Deposit Ratio (LDR) pada BPR Kuningan mencapai 123,01 persen angka yang jauh melampaui batas aman yang ditetapkan regulator untuk bisnis perbankan.
Secara teknis, LDR adalah rasio antara total kredit yang diberikan bank dengan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun. Artinya, LDR mengukur seberapa besar dana masyarakat yang telah disalurkan kepada sektor pembiayaan. Dalam konteks manajemen perbankan, LDR adalah salah satu indikator paling penting untuk menilai kemampuan likuiditas suatu bank.
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 17/POJK.03/2013 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, rasio LDR ideal berada pada kisaran 75% hingga 90%. Angka di atas 90% mulai mengindikasikan bahwa bank telah menyalurkan sebagian besar dana ke dalam bentuk alokasi kredit, dan semakin mendekati atau melebihi 100% menunjukkan gejala overloaning yakni kondisi ketika bank meminjamkan lebih banyak uang daripada yang secara realistis bisa dicadangkan untuk penarikan tunai nasabah.
Bahkan dalam praktik kehati-hatian di industri perbankan, banyak bank menetapkan ambang batas LDR internal yang lebih konservatif pada level 85-90 persen. Hal ini untuk menjaga buffer likuiditas agar tetap tersedia jika terjadi fluktuasi penarikan dana oleh nasabah secara besar-besaran (rush money).
Rasio LDR dari BPR Kuningan yang mencapai 123,01 persen merupakan tanda bahaya keras bahwa bank ini secara teknis telah kehabisan ruang likuiditas. LDR di atas 100 persen artinya dana masyarakat sudah habis disalurkan kepada kredit. Tidak ada lagi yang disimpan dalam bentuk kas atau aset likuid. Simpanan masyarakat bisa dibilang dalam posisi tidak aman.
Data keuangan BPR Kuningan mencatat bahwa dari total DPK sebesar Rp 143,5 miliar, hanya tersedia kas sekitar Rp 24 miliar.
Berdasarkan fakta itu kami memperingatkan bahwa bila terjadi penarikan dana sebesar 30% saja atau sekitar Rp 43 miliar, maka Bank Kuningan akan kewalahan untuk melakukan pembayaran.
Kalau total dana ditarik 30 persen saja oleh nasabah, BPR Kuningan pasti tidak akan sanggup untuk membayar. Ini skenario awal yang pernah terjadi pada KSP Mekar Jaya dan kini muncul di lembaga keuangan milik pemerintah daerah.
Yang jelas pengawasan oleh Kuasa Pemilik Modal (KPM) saat ini sangat lemah, padahal Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar, menjabat langsung sebagai KPM dari BPR Kuningan. Bagaimana mungkin rasio LDR bisa tembus hingga 123 persen tanpa ada intervensi atau koreksi dari KPM? Pak Dian itu bukan hanya Bupati, tapi juga penanggung jawab tertinggi dalam struktur kepemilikan BPR Kuningan.
Pemerintah daerah harus bertindak tegas dengan segera mencopot Dirut Bank Kuningan karena ini menyangkut dana masyarakat langsung, bukan hanya aset pemerintah atau PAD. Jangan sampai Pemkab Kuningan yang sedang menghadapi gagal bayar di level pemerintahan, lalu bank daerah yang dimilikinya ikut gagal bayar karena likuiditasnya macet. Ini akan menjadi bencana ganda.
Selain krisis likuiditas, beban operasional BPR Kuningan juga kami persoalkan. Dalam laporan keuangan tahun 2024, tercatat biaya administrasi dan umum mencapai Rp 22 miliar, tanpa disertai rincian memadai. Ini angka nominal yang fantastis. Tapi tidak ada penjelasan terperinci. Apakah dipakai untuk gaji, operasional kantor, fasilitas direksi, atau kegiatan promosi? Tidak ada yang tahu. Ini membuka ruang gelap penyalahgunaan keuangan.
Kami juga menyoroti beban bunga kontraktual yang setiap tahunnya hampir mencapai Rp10 miliar. Beban bunga ini menunjukkan bahwa dana simpanan masyarakat dibayar dengan bunga tinggi, entah untuk siapa. Apakah deposito jumbo, atau simpanan biasa masyarakat? Tidak dijelaskan.
Pengeluaran dana besar tanpa transparansi ini sangat berbahaya, terutama jika dikombinasikan dengan laporan laba bersih sebesar Rp 2,66 miliar hanya tersisa sebesar Rp 617 juta saja yang tercatat untuk menambah ekuitas. Artinya ada uang sekitar Rp 2 miliar dari laba ‘hilang’ dari catatan modal. Tidak ada penjelasan soal dividen, insentif, atau transfer kepada pos lain. Ini sangat menyesatkan dan menghina akal sehat publik.
Yang lebih ironis, laporan keuangan BPR Kuningan tidak disertai laporan arus kas, padahal itu merupakan dokumen wajib berdasarkan PSAK 2. Tanpa arus kas, publik tidak tahu apakah laba benar-benar masuk kas, atau hanya pencatatan angka yang belum direalisasikan. Kalau uangnya tidak ada tapi di atas kertas bank bisa untung, ini jelas manipulasi keuangan gaya klasik. Dan kalau sampai terjadi rush money, semua topeng itu akan terjatuh hina.
BPR Kuningan kini menghadapi tiga krisis struktural:
- Krisis likuiditas akibat overloaning, dibuktikan oleh LDR 123,01%.
- Kredit macet tersembunyi dari kalangan ASN yang gajinya tidak lagi otomatis dipotong.
- Struktur modal yang rapuh, dan pengeluaran besar tanpa rincian yang transparan.
BPR Kuningan itu bukan bank biasa. Ini bank milik publik, menyimpan uang gaji ASN, pensiunan, pelaku UMKM, dan tabungan masyarakat kecil. Kalau sampai terjadi gagal bayar, maka imbas sosialnya akan sangat luas.
Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar sebagai KPM dan mewakili selaku pemilik saham 100 % dari pemerintah daerah harus turun tangan secepatnya jangan cuci tangan terus. Jangan sampai publik mencatat ada dua tragedi keuangan dalam satu dekade yakni pertama kado pahit opini WDP dari BPK untuk Pemkab Kuningan, lalu yang kedua bank daerah miliknya sendiri bangkrut.
Terkait pernyataan dari Direktur Bank Kuningan Dodo Warda, SE ketika dilakukan konfirmasi dan memberikan jawaban tentang masalah itu dengan menyatakan bahwa ada hal yang tidak dimasukkan dalam laporan tersebut sehingga rasio LDR menjadi tinggi.
Kami tentu membantahnya keras, dimana hasil Laporan Publikasi Keuangan Bank Kuningan Per 31 Desember 2024 itu sudah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik DRA. YATI RUHIYATI, CA., CPA dengan memakan biaya yang besar. Jadi kalau disebut laporan itu keliru, maka kredibilitas dari Kantor Akuntan Publiknya diragukan. Jangan-jangan cuma dicatut namanya saja. Kemudian masalah uang ada dan tidak ada itu akan terlihat ketika terjadi rush money seperti yang menimpa pada KSP Mekar Jaya.
( Red )