Arii Pratama: Kalau tidak ada itikad baik dari pihak-pihak yang terlibat, kami akan melakukan aksi terbuka di wilayah tersebut. Ini bukan hanya soal Mbak Aminatus, tapi soal martabat jurnalis secara keseluruhan.
Krian, Sidoarjo Jatim, tribuntipikor.com //
Jurnalis adalah ujung tombak demokrasi dan kontrol sosial. Tapi nyatanya intimidasi tetap saja dialami jurnalis dalam menjalankan tugas profesinya.
Seperti yang dialami Aminatus Sakdiyah, wartawati media online yang juga sebagai anggota Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) dari wilayah Sidoarjo, dirinya telah mendapatkan perlakuan intimidasi saat tugas meliput persoalan sampah yang menumpuk di jalan Wahidin Sudiro Husodo, tepatnya di depan UPTD Rumah Pemotongan Unggas (RPU) Krian, Sidoarjo.
Bermula ketika Aminatus melakukan peliputan pada 15 dan 17 Mei 2025, setelah menerima aduan masyarakat terkait tumpukan sampah. Aminatua kemudian mengambil foto tumpukan sampah tersebut untuk kepentingan pemberitaan.
Tapi hal itu justru memicu kemarahan sejumlah pihak. Seorang tokoh agama setempat menegur dan mempersoalkan tindakan Aminatus tersebut.
Tak hanya ditegur. Aminatus kemudian ‘digiring’ ke Balai RW 08 setempat. Di sana, sang jurnalis dipaksa mengakui kesalahan yang sebenarnya tidak pernah ia lakukan. Ia diintimidasi, bahkan disebut-sebut menerima uang dari pengelola titik pembuangan sampah pasar Krian. Tuduhan tersebut tanpa dasar. Lebih parahnya lagi, Aminatus diancam agar keluar dari tempat tinggalnya.
“Anak-anak saya juga ikut merasakan dampaknya. Kami dikucilkan oleh warga sekitar,” ungkap Aminatus dengan suara bergetar.
Ia juga menyebutkan saat di balai RW, dirinya direkam seseorang yang hingga kini belum diketahui identitasnya. “Saya ingat wajahnya, tapi tidak tahu namanya,” tambahnya.
Peristiwa ini, tentu sudah terang-terangan melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 8 dalam undang-undang tersebut menyebutkan bahwa wartawan mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya. Selain itu, Pasal 4 menegaskan kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara dan dijamin oleh hukum.
Lebih lanjut, Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama dua tahun atau denda maksimal Rp500 juta.
Setelah kejadian tersebut, Aminatus bersama sejumlah rekan jurnalis dan Ketua KJJT Sidoarjo Arri Pratama mendatangi kantor kelurahan Krian untuk melaporkan kejadian. Mereka ditemui oleh Sekretaris Desa dan Kesra, karena Lurah Krian, Ibnu Malik, saat itu tidak berada di tempat.
Dalam mediasi singkat, disepakati pertemuan lanjutan akan diadakan dengan menghadirkan pihak-pihak terkait secara resmi dan terbuka.
Namun di luar dugaan, malam harinya Aminatus kembali dipanggil beberapa oknum ke balai RW dengan dalih penyelesaian masalah.
Ketua KJJT Sidoarjo, Arri Pratama, mengingatkan agar tidak ada pertemuan tanpa kehadiran perwakilan dari komunitas jurnalis. “Ini demi perlindungan Mbak Aminatus dan juga kepentingan hukum,” ujarnya.
Disisi lain, pihak-pihak yang dihubungi oleh jurnalis termasuk Pak RT 37, Aji Margono, dan seorang pria bernama Muklas yang mengaku sebagai keamanan masih belum memberikan jawaban yang jelas.
Mirisnya, saudara Muklas justru menyampaikan keinginannya untuk menyelesaikan masalah malam itu juga, tanpa mempertimbangkan kondisi mental korban dan mekanisme penyelesaian yang sesuai prosedur hukum. (King/Tim)
Editorial: Solikin Korwil Jatim