Oleh:
Rachminawati. SH,.MA.,Ph.D
Pegiat Pendidikan Berbasis Fitrah
Dosen HI FH UNPAD.
Tangisan Tak Terdengar di Hari Buruh
“Hari Buruh Internasional tahun ini datang seperti ironi menyakitkan di beberapa daerah di Indonesia termasuk di Garut. Di saat dunia merayakan pencapaian pekerja, ribuan buruh di Garut justru kehilangan pekerjaan, penghasilan, dan harapan. Penutupan sepihak sejumlah industri bulu mata, termasuk PT Danbi Internasional, telah meninggalkan luka mendalam. Tanpa pemberitahuan jelas, para pekerja—yang sebagian besar adalah perempuan kepala keluarga—diberhentikan secara mendadak. Mereka ada yang pulang tanpa pesangon, tanpa surat resmi, dan tanpa masa depan.
Fenomena ini bukan sekadar kegagalan bisnis, melainkan pelanggaran terang-terangan terhadap hak-hak dasar manusia. Pasal 23 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjamin hak atas pekerjaan, upah yang layak, dan perlindungan dari pengangguran. Konvensi ILO No. 158 menyebutkan bahwa pemutusan hubungan kerja hanya sah bila melalui prosedur yang adil. Di Indonesia sendiri, UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 dan UU Cipta Kerja mensyaratkan penyelesaian hak normatif, termasuk pesangon, sebelum penutupan usaha. Namun, fakta di lapangan menunjukkan: hukum seringkali berhenti di atas kertas.
Dampak Sosial PHK Buruh yang Tidak Bisa Diabaikan
Bukan hanya ekonomi keluarga yang runtuh, tetapi juga ekosistem sosial Garut yang terguncang. Mereka mulai kesulitan membayar sekolah anak-anaknya, kebutuhan pokok tak lagi terbeli, dan beban psikis kian menumpuk. Ketika ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian dalam waktu bersamaan, efek domino tentu akan terjadi seperti pasar tradisional kehilangan pembeli, UMKM kehilangan pelanggan, bahkan potensi stunting meningkat akibat gizi buruk di rumah-rumah mereka yang terdampak.
Realita ini menyentil nurani: siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab? Tentu saja Negara. Dalam prinsip hukum HAM internasional, Negara bukan hanya pelindung dari pelanggaran HAM oleh negara, tapi juga wajib mencegah dan menindak pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi. Negara harus hadir, menjamin bahwa investasi bukan hanya soal keuntungan modal, tapi juga soal martabat manusia. Pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan tentu saja Pemerintah Kabupaten Garut, harus bergerak cepat dan tidak membiarkan pekerja sendirian dalam menghadapi krisis ini.
Apresiasi pada Pemerintah Baru Garut yang Responsif: Tapi Jangan Berhenti di Komitmen
Pemerintah Kabupaten Garut yang baru memang patut diapresiasi atas sikap terbuka dan komitmen awal mereka. Bupati Garut melalui wakilnya yang baru menyatakan akan mendampingi para buruh terdampak dan terus membuka keran investasi yang lebih sehat. Ini adalah awal yang baik. Tapi krisis buruh bukan sekadar soal janji. Ini soal langkah nyata yang cepat, sistemik, dan berpihak.
Solusi Bersama: Keadilan bagi Buruh Untuk Garut yang Tangguh di Masa Depan
Untuk mewujudkan komitmen pemerintah Garut, maka berikut adalah beberapa langkah yang harus segera dijalankan:
- Pendampingan Hukum Massal
Pemerintah harus memfasilitasi pendampingan hukum untuk menuntut hak-hak buruh yang dilanggar, dengan menggandeng LBH, perguruan tinggi, dan serikat pekerja. Buruh tidak boleh berjuang sendiri. - Dana Darurat dan Program Pemulihan Sosial-Ekonomi
Pemda dapat menginisiasi dana darurat sementara bagi buruh terdampak, sembari meluncurkan program pelatihan keterampilan baru yang sesuai dengan pasar kerja lokal maupun digital. - Zona Investasi Adil dan Ramah Buruh
Pemerintah harus menyaring masuknya investor berdasarkan komitmen terhadap hak buruh dan keberlanjutan usaha. Investasi yang hanya datang untuk “kabur duluan” harus diseleksi secara ketat. - Sistem Deteksi Dini Penutupan Industri
Disnaker harus membangun sistem pengawasan aktif untuk memantau kesehatan bisnis industri padat karya di Garut. Perusahaan wajib melaporkan potensi krisis yasejak dini agar buruh tidak kaget dirumahkan