(Oleh Prana Rifsana
Ketua Partai Buruh EXCO Kota Bandung)
Bandung, tribuntipikor.com
Seperti yang diketahui bahwa Meritokrasi adalah sistem yang memberikan penghargaan
kepada orang yang berprestasi atau memiliki kemampuan. Sistem ini didasarkan pada
prinsip bahwa prestasi dan keunggulan individu harus menjadi dasar untuk pengakuan,
promosi, dan penghargaan.
Meritokrasi dapat diterapkan dalam berbagai bidang,
seperti politik, pengelolaan sumber daya manusia, dan birokrasi.
Sejak kecil, kita diajarkan bahwa dunia ini adalah tempat kita berlomba untuk menjadi
yang terbaik. Anak-anak diminta untuk menggantungkan cita-cita setinggi langit, untuk
berkompetisi secara sehat dengan rekan sejawat, untuk menjadi unggul di segala
bidang. Kita diajarkan pula bahwa dunia adalah milik orang-orang yang bekerja dengan
sungguh-sungguh.
Namun dari sekian juta anak-anak di Indonesia, hanya segelintir yang bisa masuk ke
sekolah terbaik, dan lebih sedikit lagi yang bisa masuk universitas terbaik. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan, tingkat pendidikan mayoritas penduduk
Indonesia berusia 15 tahun ke atas pada tahun 2023, tertinggi masih menduduki tingkat
SMA sederajat sebesar 30,22%
Urutan kedua disusul oleh tamatan SD sebesar 24,62%, kemudian disusul tamatan SMP
sebesar 22,74%. Sementara itu masyarakat yang mencapai tamatan perguruan tinggi
sederajat hanya mencapai 10,15%. Dan masih terdapat 12,23% masyarakat Indonesia
yang tidak memiliki ijazah. Minimnya Pendidikan masyarakat Indonesia hingga jenjang
perguruan tinggi dilandasi oleh tingginya biaya uang kuliah, sehingga mendorong
sebagian masyarakat Indonesia yang kurang mampu tidak melanjutkan Pendidikan
hingga sarjana.
Lalu bagaimana meritokrasi dapat diterapkan jika ternyata meritokrasi yang ada
sekarang terjadi tidak hanya sekedar karena kemampuan dan kualitas anak semata,
tetapi justru karena keluarga kelas menengah ke atas yang terlibat dalam pusaran ini
telah memiliki keunggulan lebih dengan titik mulai yang berbeda dengan keluarga kelas
pekerja di perkotaan atau masyarakat miskin pedesaan.
Orang tua kelas ekonomi menengah ke bawah mengalami berbagai tekanan hidup,
yang menyebabkan perhatian terhadap pendidikan pada anak tidak dapat terjadi secara
optimal. Hal ini menyebabkan kelompok masyarakat tersebut semakin tersingkir dari
pusaran kompetisi untuk ‘kehidupan yang lebih baik’. Disinilah konsep kesetaraan perlu
dipertanyakan, semua anak memang terlahir sama, tetapi dibesarkan berbeda, tentu
karena himpitan ekonomi.
Dengan kondisi ini apakah dapat dikatakan bahwa meritokrasi hanya dapat
diberlakukan untuk mereka yang mampu dan berpendidikan tinggi saja, atau dapat
diartikan dapat diberlakukan kepada siapa saja dengan catatan berangkat dari titik start
yang sama. Walau fakta dilapangan untuk sebagian besar pekerjaan, pendidikan bukan
merupakan jaminan berprestasi, seorang bankir lulusan D3 Akuntansi misalnya pernah
memiliki anak buah lulusan S2 Cumlaude dari Universitas terbaik di Indonesia.
Bahkan kecenderungan pengalaman organisasi lebih memberikan manfaat dan
kontribusi kepada pencapaian prestasi kerja dibandingkan pengalaman akademis. Bisa
saja ditemukan seorang lulusan SMA atau SMP sekalipun yang memiliki pengalaman
organisasi lebih mampu dibandingkan seorang lulusan sarjana dalam mengelola sebuah
unit kerja dan memimpin beberapa staff dan membawa pemerintahan atau perusahaan
menjadi lebih baik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa meritokrasi memiliki banyak manfaat untuk performa
pemerintahan atau perusahaan, meritokrasi dapat membantu menghentikan korupsi,
suap, dan praktik birokrasi yang tidak etis. Meritokrasi juga membantu menciptakan
birokrasi yang profesional dan berdaya saing, meritokrasi juga dapat membantu
meningkatkan kinerja pekerja/ASN. Namun penerapan meritokrasi harus memiliki asas
kesetaraan dan berkeadilan, agar ‘jeruk tidak makan jeruk’. Atau sistem meritokrasi tidak
hanya menyingkirkan masyarakat kelas bawah, tetapi juga memerangkap masyarakat
kelas menengah ke atas yang masuk dalam pusaran tersebut.
Hal inilah yang membuat Partai Buruh memperjuangkan konsep Negara Sejahtera
(Welfare State) dimana salah satu prinsipnya adalah Kesetaraan Kesempatan, Prinsip ini
secara sederhana bermakna bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk berkiprah
dalam segala bidang. Kesempatan yang sama selaras dengan egalitarianisme. Namun
prinsip ini juga harus diiringi persyaratan mutlak, yaitu persamaan pra kondisi bagi
setiap elemen masyarakat.
Mencakup akses yang adil bagi semua orang untuk
mencapai potensi maksimalnya. Dengan kata lain, semua berkaitan dengan kesetaraan
kondisi atau starting point.
Persamaan kesempataan tidak bisa dijalankan di atas dasar ketimpangan akses
pendidikan, kesehatan, pangan, dan pengembangan diri. Hanya dalam keadaan yang
setara, persamaan kesempataan benar-benar bisa dilaksanakan. Ketidaksetaraan
kesempatan juga bisa disebabkan oleh perbedaan bakat bawaan, perbedaan
kesempatan orang tua, perbedaan peran menurut jenis kelamin di dalam masyarakat,
serta perbedaan alur dan rekam pendidikan dan pengajaran.
Mustahil tercipta persamaan kesempataan atas jabatan publik yang mensyaratkan
pendidikan S1 di tengah tarif pendidikan tinggi yang mahal dan jumlah lulusan
perguruan tinggi yang rendah. Mustahil menuntut kualitas sumber daya manusia yang
setara di tengah banyaknya keluarga keluarga miskin yang tumbuh dalam gizi buruk,
sementara keluarga kaya bukan saja tercukupi gizinya, tapi juga mendapatkan
lingkungan hidup yang higienis dan sehat.
Negara harus memastikan semua layanan publik bisa diakses oleh seluruh warga. Itu
berarti peran negara menjadi vital dalam memastikan rakyat bisa memperoleh bahan
pangan yang baik, mendapatkan pendidikan tinggi, memiliki perumahan yang layak dan
lingkungan yang sehat, memperoleh akses kesehatan dan lain-lain kebutuhan mendasar.
Negara juga harus memastikan terjadinya distribusi kemampuan. Seluruh warga negara
harus diberikan kompetensi, membuat mereka mampu melaksanakan rencana-rencana
kehidupannya. Untuk mengamankan rencana kehidupan tiap anggota masyarakat,
kebijakan sosial tidak boleh terlambat dalam mengurangi ketidaksetaraan.(Prana)